Jumat, 11 November 2011

Hadist Tarbawi Semester IV


KATA PENGANTAR.


Assalamualaikum Wr.Wb.

Alhamdulillahhirobbil alamin Wasalatu Wassalamuaalai’asysyrofil anbiya Wal Mursalina Sayyidina Muhammad Wa’ala Aihi Wshobihi Ajmain.
Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya, sehingga peresum dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam tak lupa penyusun haturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya.
Pembahasan tugas kali ini, kami mencoba membahas tentang hadits yang berkaitan dengan pendidikan  untuk memenuhi tugas yang diberikan dosen mata kuliah kepada kami.
Yang berada di depan kita kali ini  sedikit banyak mencakup pembahasan tentang pengaruh bakat dan lingkungan pada perkembangan pendidikan seorang anak.
Kami menyadari bahwa dalam tugas ini masih banyak terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna untuk itu tanggapan, teguran, dan kritikan serta saran yang bersifat membangun senantiasa kami harapkan dari teman-teman. kami juga berharap tugas ini bermanfaat dan dapat dipergunakan untuk mahasiswa sekalian.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

PEMBAHASAN

HADITS I
PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP ANAK

عن ابى هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما من مولود الا يولد على الفطرة فابواه يهودانه وينصرانه كما تنتجون البهيمة هل تجدون فيها من جدعاء حتى تكونوا انتم تجدعونها
 “Tiada seorang bayi pun melainkan dilahirkan dalam fitrah yang bersih. Maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi, sebagaimana binatang melahirkan binatang keseluruhanya. Apakah kalian mengetahui di dalamnya ada binatang yang rumpung hidungnya?
Dalam mentakhrij hadits, hadits yang akan ditakhrij ditentukan terlebih dahulu. Di sini kami akan mentakhrij hadits   مامن مولود الايولد على الفطرة
setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah.
Hadits berdasarkan data dari kitab mu’jam masing-masing terletak di dalam kitab sebegai berikut:
  • Shahih Bukhari: kitab janaiz bab 80, kitab tafsir surah bab 30, kitab qadar bab 3
  • Shahih Muslim: kitab qadar hadits no 22,23,24
  • Musnad Ahmad bin Hanbal: juz 2 h. 315 dan 345
Hadits dari masing-masing mukharrij

Hadits dari Bukhari :[1]
باب الله اعلم بما كانوا عاملين
حدثنى اسحاق بن ابراهيم اخبرنا عبدالرزاق بن همام اخبرنا معمر عابن راشد عن همام ابن منبه عن ابى هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما من مولود الا يولد على الفطرة فابواه يهودانه وينصرانه كما تنتجون البهيمة هل تجدون فيها من جدعاء حتى تكونوا انتم تجدعونها

Hadits dari Muslim :[2]
)باب معنى كل مولود يولد على الفطرة زحكم موت اطفال اكفار واطفال المسلمين)
حدثنا حاجب بن الوليد حدثنا محمد بن حرب عن الزبيدي عن الزهري اخبرنى سعيد بن المسيب عن ابى هريرة انه كان يقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما من مولود الا يولد على الفطرة فابواه يهودانه وينصرانه ويمجسانه كما تنتج البهيمة بهيمة جمعاء هل تحسون فيها من جدعاء  ثم يقول ابو هريرة اقرءوا ان شئتم فطرة الله التى فطرالناس عليها  لاتبديل لخلق الله

Hadits dari Ahamad bin Hanbal :[3]
حدثنا عبدالله حدثنى ابى حدثنا عفان حدثنا حماد بن سلمة عن قيس عن طاوس عن ابى هريرة ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ما من مولود يولد الا يولد على الفطرة حتى يكون ابواه اللذان يهودانه وينصرانه كما تنتجون انعامكم هل تجدون فيها جدعاء حتى تكونا انتم تجدعونها واين هم قال الله اعلم بما كانوا عاملين                                                                                                               
Pohon Sanad
رسول الله                              رسول الله                              رسول الله
ابى هريرة                            ابى هريرة                            ابى هريرة
همام                                        سعيد بن المسيب                  طاوس
معمر                                      الزهري                                 قيس
عبدالرزاق                            الزبيد                                      حماد بن سلمة
اسحاق                                   محمد بن حرب                    عفان
بخاري                                   حاجب بن الوليد                  ابى
 مسلم                                      عبدالله                                                                                                 احمد بن حنبل

Pohon Sanad Campuran


رسول الله
ابى هريرة
همام                                                    سعيد بن المسيب                              طاوس
معمر                                                  الزهري                                             قيس
عبدالرزاق                                        الزبيد                                                  حماد بن سلمة
اسحاق                                               محمد بن حرب                                عفان
بخاري                                               حاجب بن الوليد                              ابى
مسلم                                  عبدالله
احمد بن حنبل

Biografi Para Perawi Hadits

1.    Imam Bukhari [4]
Imam Bukhari nama lengkapnya Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah al-Ja’fi al-Bukhari. Lahir di kota Bukhari pada tanggal 13 Syawwal194 H/810 M dan wafat di Samarkand pada malam ‘Idul Fitri tahun 256 H = 31 Agustus 870 M.
Imam Bukhari belajar hadits dari ulama hadits termasyhur, di antaranya: Malik ibn Anas, Hammad ibn Zayd, Ibn Mubarak, ‘Ali ibn al-Madini, Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma’in, Muhammad ibn Yusuf al-Fiyabi, dan Ibn Rawaih.
Sebelum mencapai usia enem belas tahun, Imam Bukhari telah berhasil menghafalkan beberapa kitab hadits, di antaranya karangan Ibnu al-Mubarak dan Waki’. Ia hapal 100.00 hadits shahih dan 200.00 hadits yang tidak shahih. Beliau tidak hanya menghapalkan matan hadits dan buku ulama terdahulu, tetapi ia juga mengenal betul biografi para periwayat yang mengambil bagian dan penukilan sejumlah hadits, data tanggal lahir, meninggal, dan tempat lahir.
Kekuatan ilmu dan hafalan Imam Bukhari, maka para guru, kawan, murid, dan generasi sesudahnya memujinya. Di antara mereka yang memuji Imam Bukhari adalah Abu Bakar Ibn Khuzaimah, al-Hakim, dan Ibnu Hajar al-Asqalani. Abu Bakar ibn Khuzaimah mengatakan: “di kolong langit ini tidak ada ahli hadits yang melebihi Imam Bukhari.” Al-Hakim menceritakan dengan sanad lengkap, bahwa Muslim yang menulis kitab shahih Muslim datang dan mencium antara kedua mata Imam Bukhari dan berkata: “Guru, biarkan aku mencium kedua kakimu. Engkaulah imam ahli hadits dan dokterpenyakit hadits.” Sementara Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengatakan bahwa: “Seandainya pintu pujian dan sanjungan masih terbuka bagi generasi sesudahnya, niscaya kertas dan nafas akan habis, karena ia bagaikan laut yang tidak berpantai.”
Di antara guru Imam Bukhari adalah Ali ibn al-Madini, Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma’in, dan ibn Rawaih. Adapun murid beliau di bidang hadits banyak sekali sehingga ada yang mengatakan murid Imam Bukhari sebanyak 90.000 orang. Di antara muridnya adalah Muslim al-Hajjaj, al-Turmuzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Abu Daud, dan ibn Yusuf al-Fiyabi.

2.    Ishaq
Nama lengkap        : Ishaq bin Ibrahim bin Makhlad bin Ibrahim bin Mathar al-hanzaly.
Guru                         :Abdur Razzaq bin Hammam al-shanany, Abdullah bin Raja’ al-Makki,Hafs bin Ghiyats al-Nukhay
Murid                       : al-Jama’ah selain Ibn Majah, Hasan bin Sufyan, Abdullah bin Muhammad bin Ali al-Himyary an-Nasafy, Ahmad bin Sahl bin Malik al-Asfarayiny.
Lahir                       : 161 H
Wafat                     : pertengahan bulan Sya’ban th. 238 H[5]
Ishaq bin Ibrahim terkenal dengan sebutan Ibnu Rahawaih al-Marwazi. Beliaulah yang menganjurkan kepada Bukhari untuk mengumpulkan hadits-hadits yang shahih dalam sebuah kitab. Karena anjurannyalah, Bukhari mengumpulkan hadits dalam kitab shahihnya[6]

3.    Abdur Razzaq
Nama lengkap          :Abdur Razzaq bin Hammam bin Nafi’ al-Himyary, Maulahum, al-Yamany, Abu akar as-Shan’any.
Guru                         :Ma’mar bin Rasyid, Ibrahim bin ‘Umar bin Kaisan as-Shan’any, Ibrahim bin Maimun as-Shan’aniyu, Mu’tamir bin Sulaiman.
Murid                       :Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Ishaq bin Ibrahim bin Rahawaih, Ishaq bin Ibrahim bin ‘Ibad al-Dabari, Ishaq bin Ibrahim bin Nasr as-Sa’diyu, Yahya bin Ma’in.
Lahir                         `:126 H
Wafa                        :211 H pertengahan bulan Sya’ban[7]Kitab karyanya :Mushannaf Abdirrazzaq[8]

4.    Ma’mar[9]
Nama lengkap          :Ma’mar bin Rasyid al-Azdy al-Huddany
Guru                         :Hammam bin Munabbih, Yahya bin Abi Katsir, Mathar al-Warraq, Ibn Abi Syaibah, Hisyam bin ‘Urwah.
Murid                       :Abdur Razzaq bin Hammam, Salamah bin Sa’id, Abdullah bin al-Mubarak, Abdul Malik bin Juraij.
Pendapat kritik         :Yahya bin Ma’in: Tsiqah, an-Nasa’I : Tsiqah, Abu Hatim : Shalih
Wafat                       : 154 H 

5.    Hammam
Nama lengkap          :Hammam bin Munabbih bin Kamil, bin Siyaj al-Yamani, Abu ‘Uqbah as-Shan’any al-Anbawy
Thabaqah                  :Tabi’i
Guru                         :Abi Hurairah, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Abbas, Ibnu ‘Umar bin al-Khattab, Muawiyah bin Abi Sufyan
Murid                       :Ma’mar bin Rasyid, Ali bin Hasan bin Attasy
Wafat                       :131 H
Hammam adalah adalah seorang tabi’i yang alim yang berguru kepada sahabat Abu Hurairah, dan mengutip hadits darinya banyak sekali. Hadits-hadits tersebut kemudian beliau kumpulkan dalam satu naskah yang dinamai Ash-Shahifah Ash-Shahihah

6.    Abi Hurairah
Nama lengkap Abu Hurairah banyak versi ada yang mengatakan bahwa namanya adalah Abu Hurairah al-Dawsi al-Yamani, versi lain mengatakan ‘Abd al-Rahman ibn Shahr. Abu Hurairah adalah kunyah yang diberikan kepadanya karena ia sering membawa anak kucing. Ia dilahirkan pada tahun 21 SH danmasuk Islam pada tahun ke-7  H. Ia wafat di Madinah pada tahun 57 H/636 M.
Guru dan murid Abu Hurairah dalam periwayatan hadits. Gurunya adalah Nabi Muhammad saw, Abu Bakar al-Shiddiq, ‘Umar ibn Khattab, ‘Utsman ibn Zaid. Muridnya antara lain ‘Abdullah ibn ‘Umar, Muhammad ibn Sirin, ‘Urwah ibn Zubair.
Menurut Baqy ibn Makhlad, Abu Hurairah meriwayatkan hadits sejumlah 5374 hadits, sementara menurut al-Kirmani, beliau meriwayatkan hadits sebanyak 5364 hadits. Dari sejulah hadits tersebut, 325 hadits disepakati oleh Bukhari dan Muslim.

Analisis Sanad Hadits

Sanad hadits dengan melihat dari biografi para perawai dapat disimpulkan bahwa, semua perawi hadits di atas adalah tsiqah dan bersambung (muttasil) dan sanadnya juga sampai kepada nabi (marfu’), dikarenakan mereka mempunyai hubungan guru dan murid. 

Analisis Matan Hadits
Menurut istilah hadits, yang dimaksud dengan matan hadits adalah pembicaraan (kalam) atau meteri berita yang diadopsi oleh perawi yang berada di akhir sanad (sahabat).
Periwayatan matan hadits dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu riwayat bi al-lafdzi dan riwayat bi al-ma;na. riwayat bi al-lafdzi adalah menyampaikan kembali kata-kata nabi dengan redaksi kalimat yang sama dengan apa yang disabdakan Nabi. Dengan periwayatan bi al-lafdzi, maka tidak ada perbedaan antara seorang perawi dengan  perawi lainnya dalam menyampaikan hadits Nabi. Akan tetapi, dalam kenyataannya, banyak sekali hadits yang ada di dalam kitab-kitab karya mereka ditulis dengan redaksi yang sedikit banyak berbeda redaksi kalimatnya, meskipun makna yang dikandungnya sama. Hal ini menunjukkan bahwa para perawi itu tidak meriwayatkan hadits dengan cara riwayat bi al-lafdzi melainkkan dengan cara yang disebut riwayat bi al-ma’na.
Hadits di atas terdapat dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan Musnad Imam Ahmad bin Hanbal yang pertama kali diriwayatkan oleh Abu Hurairah dengan redaksi yang sama  sedangkan generasi berikutnya dan seterusnya diriwayatkan bi al-ma’na.Mayoritas ulama hadits membolehkan riwayat bi al-ma’na yang dilakukan oleh para perawi selain sahabat, dengan ketentuan:
a)      memiliki pengetahuan bahasa Arab yang mendalam,
b)      dilakukan karena terpaksa, misalnya karena lupa redaksi sabda Nabi secara harfiah,         
c)      yang diriwayatkan bi al-ma’na bukan bacaan-bacaan yang bersifat ta’abbudi (ibadah),
d)     periwayat bi al-ma’na sepatutnya menambahkan kata او نحو ذلك atau yang semakna dengannnya, setelah menyebut matan hadits,
e)      kebolehan ini hanya boleh berlaku sebelum masa bembukuan hadits secara resmi.
Dengan keterangan matan hadits di atas maka dapat  disimpulan bahwa matan hadits di atas tidak mengandung unsur-unsur syadz dengan artian matan hadits yang satu dengan yang lainnya tidak bertentangan dan hadits di atas juga tidak mengandung kecacatan (‘illat). Maka hadits di atas dapat diterima (maqbul).

Kesimpulan Takhrij Hadits
Setelah menganalis sanad dan matan hadits, maka dapat di ambil kesimpulan bahwa hadits di atas berkualitas shahih dikarenakan telah memenuhi syarat-syarat hadits shahih yaitu:      mempunyai sanad yang bersambung (muttasil)
a)      para perawinya ‘adil
b)      para perawinya dhabith
c)      tidak mengandung unsur-unsur syadz
d)     tidak mengandung kecacatan (‘illat) yang dapat merusak keabsahan sebuah hadits, seperti menyambungkan hadits-hadits yang jelas terputus sanadnya (washu munqathi’), me-marfu’-kan yang mauquf (raf’u mauquf) dan me-mursal-kan yang maushul (irsal al-maushul).

Penjelasan Hadits
Hadits di atas menjelaskan tentang pengaruh orang tua/lingkungan terhadap pendidikan anak. Dalam pandangan Islam, kemampuan dasar atau pembawaan disebut dengan “fitrah.”  Secara etimologis, “fitrah” berarti “sifat asal, kesucian, bakat, dan bembawaan,” dan secara terminology, Muhammad al-Jurjani menyebutkan, bahwa “fitrah” adalah: tabiat yang siap menerima agama Islam.
Kata “fitrah” disebutkan dalam Alquran pada surah al-Rum ayat 30 sebagai berikut:
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ  
“Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama dengan selurus-lurusnya, (sesuai dengan kecenderungan aslinya); itulah fitrah Allah, yang Allah menciptakan manusia atas fitrah itu. Itulah agama yang lurus. Namun kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (Q.S al-Rum 30).

Bila dikaji lebih mendalam, kata “fitrah” bisa memiliki arti yang bermacam-macam, sebagaimana yang telah diterjemahkan dan didefinisikan oleh banyak pakar. Di antara arti-arti yang dimaksud adalah:
  1. Fitrah berarti “thuhr” (suci).
  2. Fitrah berarti “Islam” (agama Islam)
  3. Fitrah berarti “tauhid” (mengakui keesaan Allah)
  4. Fitrah berarti “ikhlas” (murni)
  5. Fitrah berarti kecenderungan manusia untuk menerima dan berbuat kebenaran.
  6. Fitrah berarti “al-Gharizah” (insting)
  7. Fitrah berarti potensi dasar untuk mengabdi keapda Allah
  8. Fitrah berarti ketetapan atas manusia baik kebahagiaan maupun kesengsaraan, dsb.
Dalam kaitannya dengan teori kependidikan dapat dikatakan, bahwa “fitrah” mengandung implikasi kependidikan yang menjurus kepada paham nativisme. Karena “fitrah” mengandung makna “kejadian/pembawaan” yang di dalamnya berisi potensi dasar beragama yang benar dan lurus (al-Din al-Qayyim) yaitu Islam. Namun potensi dasar ini bisa dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya.[10] Kalau merujuk pada hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah berikut ini berbunyi:
عن ابى هريرة انه كان يقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما من مولود الا يولد على الفطرة فابواه يهودانه وينصرانه ويمجسانه كما تنتج البهيمة بهيمة جمعاء هل تحسون فيها من جدعاء  ثم يقول ابو هريرة اقرءوا ان شئتم فطرة الله التى فطرالناس عليها  لاتبديل لخلق الله

Artinya:
“Tiada seorang bayi pun melainkan dilahirkan dalam fitrah yang bersih. Maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi, sebagaimana binatang melahirkan binatang keseluruhanya. Apakah kalian mengetahui di dalamnya ada binatang yang rumpung hidungnya? Kemudian Abu Hurairah membaca ayat dari surat ar-Rum: 30 ini:…(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah …itulah agama yang lurus…” (HR Bukhari)

Sejalan dengan riwayat Abu Hurairah di atas, “fitrah” merupakan modal seorang bayi untuk menerima agama tauhid dan tidak akan berbeda antara bayi yang satu dengan bayi lainnya. Dengan demikian, orang tua dan pendidik berkewajiban dua langkah berikut. Pertama, membiasakan anak untuk mengingat kebesaran dan nikmat Allah, serta semangat mencari dalil dan mengesakan Allah melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya dan menjelaskankan berbagai gejala alam melalui penafsiran yang dapat mewujudkan tujuan pengokohan fitrah anak agar tetap berada dalam kesucian dan kesiapan untuk mengagungkan Allah. Kedua, membiasakan anak-anak untuk mewaspadai penyimpangan-penyimpangan yang kerap membiasakan dampak negatif terhadap diri anak, misalnya tayangan film, berita-berita dusta, atau gejala kehidupan lain yang tersalurkan melalui media informasi. Anak- anak harus diberi pemahaman tentang bahaya kezaliman, kemrosotan moral, kehidupan yang bebas, dan kebobrokan perilaku melalui metode yang sesuai dengan kondisi anak, misalnya dengan melalui dialog, cerita, atau pemberian contoh yang baik. Melalui cara itu, anak-anak akan terhindar dari peyahudian, penasranian, atau pemajusian seperti yang diisyaratkan hadits di atas.[11]
Al-Ghazali menetapkan tentang upaya membiasakan anak terhadap hal-hal yang baik atau buruk berdasarkan respon dan instingnya (fitrahnya). Di antara kata-kata beliau adalah:
Anak itu amanat bagi kedua orang tuanya. Dan hatinya yang suci itu adalah permata yang mahal. Apabila ia diajar dan dibiasakan pada kebaikan, maka ia akan tumbuh pada kebaikan itu dan akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Tetapi, apabila ia dibiasakan untuk melakukan kejahatan dan dibiarkan seperti dibiarkannya binatang-binatang, maka ia akan sengsara dan binasa. Dan untuk memeliharanya adalah dengan mendidik dan mengajarkan akhlak-akhlak yang mulia kepadanya.[12]
Dari sini, dapat diketahui bahwa jika anak tumbuh di dalam keluarga yang menyimpang, belajar di lingkungan yang sesat dan bergaul dengan masyarakat yang rusak, maka anak akan menyerap kerusakan itu, terdidik dengan akhlak yang paling buruk, di samping menerima dasar-dasar kekufuran dan kesesatan. Kemudian dia akan beralih dari kebahagian kepada kesengsaraan, dari keimanan kepada kemurtadan dan dari Islam kepada kekufuran. Jika semua ini telah terjadi, maka sangat sulit mengembalikan anak kepada kebenaran, keimanan dan jalan mendapakan hidayah.
Dapat dipahami bahwa “fitrah” sebagai pembawaan sejak lahir bisa dipengaruhi oleh orang tua/lingkungan sekitarnya, bahkan ia akan sulit berkembang tanpa adanya pengaruh lingkungan tersebut. Sementara lingkungan itu sendiri dapat diubah bila tidak menyenangkan karena tidak sesaui dengan cita-cita manusia (favorable)
Namun demikian, meskipun “fitrah” dapat dipengaruhi oleh lingkungan, tetapi kondisinya tidak netral. Ia memliki sifat yang dinamis, reaktif dan responsive terhadap pengeruh dari luar. Dengan istilah lain, dalam proses perkembangannya, terjadi interaksi saling mempengaruhi antara fitrah dan lingkungan sekitarnya, sampai akhir hayat manusia.
Pada hakikatnya, hadits tersebut tidak hanya terfokus pada gerakan peyahudian, penasranian, atau pemajusian, tetapi lebih luas lagi, yaitu menyangkut seluruh gerakan yang menyimpangkan anak dari fitrahnya yang suci. Karena itu orang tua dituntut untuk waspada agar dirinya tidak terjerumus pada gerakan tersebut dan anak kita mencontoh perilaku hidup kita. Misalnya, orang tua harus mewaspadai bacaan atau majalah anak-anak yang dapat menjerumuskan anak pada kesesatan atau penyimpangan.

Tinjauan Pendidikan
Dalam dunia pendidikan kita mengenal adanya tiga teori pendidikan, yaitu:
  1. Aliran Nativisme yang dipelopori oleh Schopenhauer. Ia mengetakan bahwa bakat mempunyai peranan yang penting. Tidak ada gunanya orang mendidik kalau bakat anak memang jelek. Sehingga pendidikan diumpamakan dengan “Mengubah emas menjadi perak” adalah hal yang tidak mungkin.
  2. Aliran Empirisme yang dipelopori oleh John Lock. Ia mengatakan bahwa pendidikan itu perlu sekali. Teorinya terkenal dengan istilah “Teori Tabularasa.” Ini artinya bahwa kelahiran anak diumpamakan sebagai kertas putih-bersih yang dapat diwarnai setiap orang (penulis). Dalam konteks pendidikan, pendidikan adalah orang yang mampu memberi “warna” terhadap anak didik.
  3. Aliran Convergensi yang dipelopori oleh William Stern. Alirian ini mengakui kedua ailiran sebelumnya. Oleh karena itu, menurut aliran ini, pendidikan sangat perlu, namun bakat (pembawaan) yang ada pada anak didik juga mempengaruhi keberhasilan pendidikan. Aliran ini lebih menekankan tentang pentingnya pendidikan.

Para pendidik dan orang tua mempunyai tanggung jawab dan kewajiban yang besar untuk melahirkan anak-anak dengan berpijak di atas landasan iman dan mengajarkan dasar-dasar Islam, maka selayaknya setiap orang yang mempunyai tanggung jawab dan kewajiban itu mengetahui batasan-batasan tanggung jawab dan kewajiban yang dipikulkan di atas pundaknya agar dapat melahikan anak yang berpijak pada landasan pendidikan iman yang sempurna dan diridhai Allah.
Secara berurutan, batasan tanggung jawab dan kewajiban itu adalah sebagi berikut:[13]
a)      Membina anak-anak untuk beriman kepada Allah, kekuasaan-Nya dan ciptaan-ciptaann-Nya Yang Maha besar, dengan jalan tafakkur tentang penciptaan langit dan bumi. Bimbingan ini diberikan ketika anak-anak sudah dapat mengenal dan membeda-bedakan sesuatu. Dalam membina ini sebaiknya para pendidik menggunakan metode sosialisasi berjenjang. Yaitu dari hal-hal yang dapat dicerna hanya dengan menggunakan indera, meningkat pada hal-hal yang logis.
b)      Menanamkan perasaan khusu’, dan ‘ubudiyah kepada Allah Swt. di dalam jiwa anak-anak dengan jalan membukakan mata mereka agar dapat melihat suatu kekuasaan yang penuh mukjizat, dan suatu kerajaan besar yang serba mengagumkan.
c)      Menanamkan perasaan selalu ingat kepada Allah Swt. pada diri anak-anak di dalam setiap tindakan dan keadaan mereka.

HADITS II
MEMBUAT PERUMPAMAAN

Redaksi Hadits
حَدَّثَنَا مُحَمّدُ بْنُ الْعُلاَءِ حَدَثَّنَا أَبُوْ أُسَامَةَ عَنْ بُرَيْدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ عَنْ أَبِي بَرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوْسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "مَثَلُ الَّذِيْ يَذْكُرُ وَالَّذِيْ لاَ يَذْكُرُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ".
”Telah menceritakan kepada kita Muhammad bin ‘Ala’, telah menceritakan kepad kita Abu Usamah, dari Buraid ibn Abdillah dari Abi Barda’ dari Musa Radliyallahu ‘Anhu, dia berkata, bahwa Rasulullah SAW.bersabda “Perumpamaan orang yang mengingat (Tuhannya) dan orangyang tidak mengingat tuhannya bagaikan perbedaan antara orang yang hidup dan orang yang mati ”. [14]

Biografi Perawi
1.    Abu Bardah
Nama sebenarnya adalah Uwaimir bin Zaid bi Qois. Ia seorang sahabat Anshar dari kabilah Khazraj. Abu Barda’ hafal Al-Qur’an dari Rasulullah SAW., dalam Perang Uhud, ia mendapatkan cobaan yang baik. Nabi SAW.bersabda mengenai dirinya : “ Prajurit berkuda paling baik adalah Uwaimir ”, Rasulullah mempersaudarakan dia dengan Salman Al-Farisi.
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, Abu Barda’ diangkat menjadi hakim di Syam, ia adalah mufti (pemberi fatwa) penduduk Syam dan ahli fiqih penduduk Palestina.
Ia meriwayatkan hadits dari Sayyidah Aisyah dan Zaid bin Tsabit. Sedangkan yang meriwayatkan darinya ialah anaknya sendiri. Hadits yang ia riwayatkan mencapai 179 buah, tentang dia, Masruq berkata : Aku mendapatkan ilmu Rasulullah SAW. pada enam orang, diantaranya dari Abu Barda’. Ia wafat pada tahun 32 H di Damaskus.
Penjelasan Hadits[15]
Perumpamaan bukan hanya sekedar karya seni yang dimaksudkan untuk memberikan keindahan kesusastraan belaka, melainkan mempunyai tujuan psikologis pedagogis, maknanya serta tujuannya yang luhur tersingkap dengan jalan menarik kesimpulan dari perumpamaan-perumpamaan itu. Disamping itu, dengan penarikan kesimpulan tersebut akan tersingkap pula mukjizat keindahan kesusastraan serta cara penyampaian pesan yang relevan.
Dengan adanya perumpamaan, seorang guru akan mengibaratkan perkara/sesuatu yang abstrak dengan sesuatu yang konkrit, sehingga para siswa yang diajarnya memahami kandungan makna yang abstrak/susah itu. Seperti halnya ketika Rasulullah berlalu di sebuah pasar dan melihat orang-orang yang sedang memperebutkan keuntungan dan kepentingan yang semata-mata bersifat duniawi, maka Rasulullah membuat perumpamaan bagi mereka dimana Rasulullah SAW.mengumpamakan kehinaan dunia dalam pandangan Allah dengan kehinaan anak kambing yang mati.
Dengan adanya perumpamaan yang dibuat oleh seorang guru, akan dapat merangsang kesan dan pesan yang berkaitan dengan penjelasan yang tersirat dalam perumpamaan tersebut. Artinya, dengan perumpamaan itu, para siswa akan menangkap pesan dan kesan tersendiri, sehingga dengan pesan yang didapatnya itu akan membantu mengingat penjelasan yang dituturkan seorang guru. Namun, untuk menghindari perbedaan daya tangkap pesan para siswa, seorang guru haruslah memberikan gambaran-gambaran yang jelas, yang mudah ditangkap, dan sekiranya bisa dimengerti oleh siswa. Kemudian pada akhir jam pengajaran, perumpamaan yang dibuat guru itu harus disimpulkan dan dikonsepkan sehingga para siswa tidak salah arah dan kabur dalam memahami perumpamaan tersebut.
Semisal ketika seorang pendidik ingin menanamkan tentang kesabaran pada jiwa anak didiknya ,seorang pendidik tersebut mengetengahkan kata-kata bijak.ambil saja  contoh “kesabaran itu ibarat sebuah jalan yang tidak berujung” atau “kesabaran itu dapat merobohkan gunung” dari sini anak didik akan menerka-nerka apa kaitannya antara sabar dan jalan yang tidak berujung ataupun kesabarab dengan runtuhnya gunung,dan akan menimbulkan rasa penasaran pada mereka yang mana selanjutnya akan menumbuhkan rasa keingin tahuan.baru kemudian para pendidik/para guru memberi gambaran atau penjelasan dari kata-kata binak tersebut, dan kami rasa dengan metode yang demikian ini (tamtsil/perumpamaan) maka maksud dan tujuan dari para pendidik/para guru akan lebih mudah diterima dan dicerna oleh pikiran mereka anak didik.dan yang demikian ini masuk masuk dalam obyek-obyek ilmu pendidikan yaitu metodologi pengajaran yang mana seorang pendidik atau pengajar di tuntut dapat menyajikan materi pelajaran dengan menggunakan metode pengajaran yang mudah di pahami dan di cerna oleh anak didik.[16]  

PENUTUP.


Hadits di atas menjelaskan tentang pengaruh orang tua dan lingkungan terhadap anak. Seorang bapak hendaknya memberi pengaruh-pengaruh positif terhadpa anak-anaknya dengan cara membina anak untuk beriman kepada Allah, menanamkan rasa khusu’, dan menanamkan perasaan selalu ingat kepada Allah Swt.
Hadits di atas bisa disebut juga dengan aliran konvergensi tetapi yang Islami yaitu pendidikan sangat perlu, namun bakat (pembawaan) yang ada pada anak didik juga mempengaruhi keberhasilan pendidikan.
Dengan adanya perumpamaan, seorang guru akan mengibaratkan perkara/sesuatu yang abstrak dengan sesuatu yang konkrit, sehingga para siswa yang diajarnya memahami kandungan makna yang abstrak/susah itu.
Demikian kiranya apa yang bisa kami sampaikan, apabila ada kesalahan baik dalam penyusunan maupun penyampaian kami mohon maaf yang ganda laksa. Kami ucapkan terima kasih atas partisipasinya

DAFTAR PUSTAKA

Ø  Al-Quran dan terjemah
Ø  Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Ibn Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Darul Fikri, 1994
Ø  Imam Abi Al-Husain Muslim Ibnu Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qasyairy An-Naisabury, Shahih Muslim,Riyadh: Darus Salam,1998
Ø  Imam Ahmad ibn Hanbal, Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal,Al-Maktab Al-Islami
Ø  Majid Khan,  dkk. Ulumul Hadits. Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW),UIN Jakarta, 2005
Ø  Al-Muttaqin Hanbal Al-Din Abi Al-Hajjaj Yusuf Al-Mizi, Tahzib al-Kamal fi Asma al-Rijal,Beirut: Muassasah ar-Risalah
Ø  Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadits.Jakarta: Bumi Aksara. 1997
Ø  Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam,Jakarta: Ciputat Pres, 2002, cet. Ke-1
Ø  Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat. Penerjemah Shihabuddin, Jakarta: Gema Insani, 2004, cet. Ke-4
Ø  Abdullah Nasih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam. Penerjemah Saifullah Kamalie dan Hery Noer Ali.Semarang: CV Asy Syifa’
Ø  Annahlawi, Abdurrahman, Prinsip dan Metode Pendidikan Islam Dalam Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat, Bandung : CV. Diponegoro, 1989, cet. 1.
Ishom Achmadi, Kaifa nurobbi abnaana, samsara pres, 2007


[1] Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Ibn Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari, Shahih Bukhari juz 7 (Darul Fikri 1994), h. 268
[2] Imam Abi Al-Husain Muslim Ibnu Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qasyairy An-Naisabury, Shahih Muslim (Riyadh: Darus Salam 1998), h. 1157-1158
[3] Imam Ahmad ibn Hanbal, Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal juz 2 (Al-Maktab Al-Islami) h. 346-347
[4] Majid Khan,  dkk. Ulumul Hadits. (Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Jakarta, 2005), h. 241-242
[5] Al-Muttaqin Hanbal Al-Din Abi Al-Hajjaj Yusuf Al-Mizi, Tahzib al-Kamal fi Asma al-Rijal Juz al-Tsani. (Beirut: Muassasah ar-Risalah), h. 373-388
[6] Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadits. (Jakarta: Bumi Aksara. 1997), h. 89
[7] Al-Mizi, Tahzib al-Kamal… juz 18. h.52-61
[8] Al-Mizi, Tahzib al-Kamal… juz 28. h.303-311
[9] Ibid, juz 28. h.303-311
[10] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. (Jakarta: Ciputat Pres, 2002), cet. Ke-1, h. 7-8
[11] Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat. Penerjemah Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani, 2004), cet. Ke-4, h. 145
[12]  Abdullah Nasih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam. Penerjemah Saifullah Kamalie dan Hery Noer Ali. (Semarang: CV Asy Syifa’), h. 156-17
[13] Ibid.hal.159-166
[14] Kitab Shohih Bukhari, (Turki : Maktab Assalafi), 168.
[15] Annahlawi, Abdurrahman, Prinsip dan Metode Pendidikan Islam Dalam Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat, (Bandung : CV. Diponegoro, 1989), cet. 1.
[16] Ishom Achmadi,Kaifa nurobbi abnaana,samsara pres,2007,hal 21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar