Minggu, 13 November 2011

hadits Tarbawi Semester IV kelompok II


BAB I
PENDAHULUAN


Segala puji bagi Allah SWT. yang senantiasa memberi kenikmatan Islam, Iman, dan Ihsan serta nikmat kesehatan dan kesempatan. Shalawat serta salam tidak lupa kami haturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, beserta keluarga dan sahabatnya.
Maksud dari disusunnya makalah ini adalah karena adanya tugas yang mewajibkan disusunnya makalah ini. Dalam menyusun makalah ini, kami berusaha menyajikan secara sederhana, praktis, dan sistematis agar mudah dipelajari dan dihayati oleh para teman dan mereka yang memilih perhatian besar terhadap hadits.
Mata kuliah Hadits Tarbawi ini merupakan salah satu mata kuliah yang harus diikuti oleh semua mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Arab (PBA). Adapun materinya meliputi sebagaimana yang tertera dalam kontrak perkuliahan. Pada kesempatan kali ini, kami akan membahas tentang materi “ Sesama Muslim Wajib Saling Bantu dan Melaksanakan Syari’at Islam Dengan Benar ”.
Kami menyadari bahwa dalam tugas ini masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan dan jauh dari kata sempurna untuk itu tanggapan, teguran, dan kritikan serta saran yang bersifat membangun senantiasa kami harapkan dari teman-teman, wa bil khusus kepada bapak dosen pengampu  hadits tarbawi, kami juga berharap semoga tugas ini bermanfaat bagi kita semua.
Dan terakhir kami ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada bapak dosen pengampu hadist tarbawi yang telah menyediakan waktu demi untuk mengantar dan mendampingi  kami menuju kesuksesan di masa mendatang, kami hanya bisa berdo’a semoga jerih payah yang telah bapak dosen usahakan mendapat balasan yang berlipat dari Allah SWT amin.




BAB II
PEMBAHASAN

HADIST KE−I
SESAMA MUSLIM WAJIB SALING BANTU

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :  مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كاَنَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ. وَمَنْ سَلَكَ طَرِيْقاً يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْماً سَهَّلَ اللهُ بِهِ طَرِيْقاً إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ، وَمَنْ بَطَأَ فِي عَمَلِهِ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ. رواه مسلم بهذا اللفظ.
Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: Siapa yang menyelesaikan kesulitan seorang mu’min dari berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan kesulitan-kesulitannya dihari kiamat. Dan siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim Allah akan tutupkan aibnya di dunia dan akhirat. Allah selalu menolong hambanya selama hambanya menolong saudaranya. Siapa yang menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu, akan Allah mudahkan baginya jalan ke surga. Sebuah kaum yang berkumpul di salah satu rumah Allah membaca kitab-kitab Allah dan mempelajarinya di antara mereka, niscaya akan diturunkan kepada mereka ketenangan dan dilimpahkan kepada mereka rahmat, dan mereka dikelilingi malaikat serta Allah sebut-sebut mereka kepada makhluk disisi-Nya. Dan siapa  yang lambat amalnya, hal itu tidak akan dipercepat oleh nasabnya[1].

A. Takhrij Hadist.
Hadist di atas kami dapatkan dari hadist Arba’in Nawawi yaitu hadist ke-36, dan ternyata hadist di atas diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahih Muslim dengan redaksi hadist dan takhrij sanad sebagai berikut[2]:
حدثنا يحيى بن يحيى التميمي وأبو بكر بن أبي شيبة ومحمد بن العلاء الهمداني - واللفظ ليحيى - ( قال يحيى أخبرنا وقال الآخران حدثنا ) أبو معاوية عن الأعمش عن أبي صالح عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم من نفس عن مؤمن كربة من كرب الدنيا نفس الله عنه كربة من كرب يوم القيامة ومن يسر على معسر يسر الله عليه في الدنيا والآخرة ومن ستر مسلما ستره الله في الدنيا والآخرة والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه ومن سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة وما اجتمع قوم في بيت من بيوت الله يتلون كتاب الله ويتدارسونه بينهم إلا نزلت عليهم السكينة وغشيتهم الرحمة وحفتهم الملائكة وذكرهم الله فيمن عنده ومن بطأ به عمله لم يسرع به نسبه
[ ش ( ومن بطأ به عمله لم يسرع به نسبه ) معناه من كان عمله ناقصا لم يلحقه بمرتبة أصحاب الأعمال فينبغي أن لا يتكل على شرف النسب وفضيلة الآباء ويقصر في العمل ]  
حدثنا محمد بن عبدالله بن نمير حدثنا أبي ح وحدثناه نصر بن علي الجهضمي حدثنا أبو أسامة قالا حدثنا الأعمش حدثنا ابن نمير عن أبي صالح وفي حديث أبي أسامة حدثنا أبو صالح عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم بمثل حديث أبي معاوية غير أن حديث أبي أسامة ليس فيه ذكر التيسير على المعسر
Biografi Perawi hadist
1. Abu Hurairah
Nama lengkap beliau adalah abu hurairah Ad-Dausy, menurut Hisyam ibn Al-Kalbi adalah Umam ibn Amir ibn Dzi As-Sarri ibn Tharrif ibn Iyan ibn Abi Sha’b ibn Hunaid ibn Tsa’labah ibn Sulaiman ibn Fahn ibn Ghanan ibn Daws. Abu Hurairah adalah kunyah yang diberikan kepadanya karena Ia sering membawa anak kucing. Ia dilahirkan pada tahun 21 SH dan masuk islam pada tahun ke-7 H. Ia wafat di Madinah pada tahun 57 H / 636 M.
Gurunya adalah Nabi Muhammad Saw, Abu Bakar Al-Shiddiq, ‘Umar ibn Khattab, ‘Ustman ibn Zaid. Muridnya antara lain ‘Abdullah ibn ‘Umar, Muhammad ibn Sirin, ‘Urwah ibn Zubair. Menurut Baqy ibn Makhlad, Abu Hurairah meriwayatkan hadist sejumlah 5374 hadist, sementara menurut al-Kirmani, beliau meriwayatkan hadist sebanyak 5364 hadist. Dari sejumlah hadist tersebut, 325 hadist disepakati oleh Bukhari dan Muslim.
2. Imam Muslim
       Nama lengkap beliau adalah Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi. Beliu lahir pada tahun 204 H atau 820 M di naisabur yaitu kota kecil di Iran bagian Timur Laut. Para Ulama’ sepakat atas keimanannya dalam hadist dan pengetahuannya tentang periwayatan hadist.
            Guru-guru beliau diantaranya Yahya bin Yahya, Ishaq bin Rahawaih, Muhammad bin Mahran, Abu Hasan bin Hanbal, Abdullah bin Maslamah, Yazid bin Mansyur, dll. Sedankan murid-murid beliau diantaranya Abu Hatim, Musa bin Haran, Abu Isa at-Turmudzi, Yahya bin Said, ibn Huzaimah, Awwanah, Ahmad bin mubarok. Beliau wafat pada tahun 261 H atau 875 M pada hari Ahad bulan Rajab di Naisabur.   

B. Penjelasan Hadist[3].
Hadits ini amat berharga, mencakup berbagai ilmu, prinsip-prinsip agama, dan akhlaq. Hadits ini memuat keutamaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang mukmin, memberi manfaat kepada mereka dengan fasilitas ilmu, harta, bimbingan atau petunjuk yang baik, atau nasihat dan sebagainya.
Kalimat “barang siapa yang menutup aib seorang muslim”, maksudnya menutupi kesalahan orang-orang yang baik, bukan orang-orang yang sudah dikenal suka berbuat kerusakan. Hal ini berlaku dalam menutup perbuatan dosa yang terjadi. Adapun bila diketahui seseorang berbuat maksiat, tetapi dia meragukan kemaksiatannya, maka hendaklah ia segera dicegah dan dihalangi. Jika tidak mampu mencegahnya, hendaklah diadukan kepada penguasa, sekiranya langkah ini tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar. Adapun orang yang sudah tahu bahwa hal itu maksiat tetapi tetap melanggarnya, hal itu tidak perlu ditutupi, karena menutup kesalahannya dapat mendorong dia melakukan kerusakan dan tindakan menyakiti orang lain serta melanggar hal-hal yang haram dan menarik orang lain untuk berbuat serupa. Dalam hal semacam ini dianjurkan untuk mengadukannya kepada penguasa, jika yang bersangkutan tidak khawatir terjadi bahaya. Begitu pula halnya dengan tindakan mencela rawi hadits, para saksi, pemungut zakat, pengurus waqaf, pengurus anak yatim, dan sebagainya, wajib dilakukan jika diperlukan. Tidaklah dibenarkan menutupi cacat mereka jika terbukti mereka tercela kejujurannya. Perbuatan semacam itu bukanlah termasuk menggunjing yang diharamkan, tetapi termasuk nasihat yang diwajibkan.
Kalimat “Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu suka menolong saudaranya”. Kalimat umum ini maksudnya ialah bahwa seseorang apabila punya keinginan kuat untuk menolong saudaranya, maka sepatutnya harus dikerjakan, baik dalam bentuk kata-kata ataupun pembelaan atas kebenaran, didasari rasa iman kepada Allah ketika melaksanakannya. Dalam sebuah hadits disebutkan tentang keutamaan memberikan kemudahan kepada orang yang berada dalam kesulitan dan keutamaan seseorang yang menuntut ilmu. Hal itu menyatakan keutamaan orang yang menyibukkan diri menuntut ilmu. Adapun ilmu yang dimaksud disini adalah ilmu syar’i dengan syarat niatnya adalah mencari keridhaan Allah, sekalipun syarat ini juga berlaku dalam setiap perbuatan ibadah.
Kalimat “Apabila berkumpul suatu kaum disalah satu masjid untuk membaca Al-Qur’an secara bergantian dan mempelajarinya” menunjukkan keutamaan berkumpul untuk membaca Al-Qur’an bersama-sama di Masjid.
Kata-kata “sakinah” dalam hadits, ada yang berpendapat maksudnya adalah rahmat, akan tetapi pendapat ini lemah karena kata rahmat juga disebutkan dalam hadits ini.
Pada kalimat “Apabila berkumpul suatu kaum” kata “kaum” disebutkan dalam bentuk nakiroh, maksudnya kaum apa saja yang berkumpul untuk melakukan hal seperti itu, akan mendapatkan keutamaan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam tidak mensyaratkan kaum tertentu misalnya ulama, golongan zuhud atau orang-orang yeng berkedudukan terpandang. Makna kalimat “Malaikat menaungi mereka” maksudnya mengelilingi dan mengitari sekelilingnya, seolah-olah para malaikat dekat dengan mereka sehingga menaungi mereka, tidak ada satu celah pun yang dapat disusupi setan. Kalimat “diliputi rahmat “ maksudnya dipayungi rahmat dari segala segi. Syaikh Syihabuddin bin Faraj berkata : “menurut pendapatku diliputi rahmat itu maksudnya ialah dosa-dosa yang telah lalu diampuni, Insya Allah”.
Kalimat “Allah menyebut nama-nama mereka di hadapan makhluk-makhluk lain disisi-Nya” mengisyaratkan bahwa, Allah menyebutkan nama-nama mereka dilingkungan para Nabi dan para Malaikat yang utama. Wallaahu a’lam.

C. Fiqh Al-Hadist[4].
1.      Siapa yang membantu seorang muslim dalam menyelesaikan kesulitannya, maka akan dia dapatkan pada hari kiamat sebagai tabungannya yang akan memudahkan kesulitannya di hari yang sangat sulit tersebut.
2.      Sesungguhnya pembalasan disisi Allah ta’ala sesuai dengan jenis perbuatannya.
3.      Berbuat baik kepada makhluk merupakan cara untuk mendapatkan kecintaan Allah Ta’ala.
4.      Membenarkan niat dalam rangka mencari ilmu dan ikhlas di dalamnya agar tidak menggugurkan pahala sehingga amalnya dan kesungguhannya sia-sia.
5.      Memohon pertolongan kepada Allah ta’ala dan kemudahan dari-Nya, karena ketaatan tidak akan terlaksana kecuali karena kemudahan dan kasih sayang-Nya.
6.      Selalu membaca Al Quran, memahaminya dan mengamalkannya.
7.      Keutamaan duduk di rumah Allah untuk mengkaji ilmu.


HADIST KE−II
MELAKSANAKAN SYARI’AT ISLAM DENGAN BENAR


عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ جَابِرْ بْنِ عَبْدِ اللهِ الأَنْصَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَرَأَيْتَ إِذَا صَلَّيْتُ اْلمَكْتُوْبَاتِ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ، وَأَحْلَلْتُ الْحَلاَلَ، وَحَرَّمْت الْحَرَامَ، وَلَمْ أَزِدْ عَلَى ذَلِكَ شَيْئاً، أَأَدْخُلُ الْجَنَّةَ ؟ قَالَ : نَعَمْ. رواه مسلم. (ومعنى حرمت الحرام : اجتنبته. ومعنى أحللت الحلال : فعلته معتقدا حله).
Dari Abu Abdullah Jabir bin Abdullah Al Anshary radhiallahuanhuma : Seseorang bertanya kepada Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, seraya berkata : Bagaimana pendapatmu jika saya melaksanakan shalat yang wajib, berpuasa Ramadhan, Menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram dan saya tidak tambah sedikitpun, apakah saya akan masuk surga ?. Beliau bersabda : Ya.

A. Takhrij Hadist.
Hadist di atas kami dapatkan dari hadist Arba’in Nawawi yaitu hadist ke-22, dan ternyata hadist di atas diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahih Muslim dengan redaksi hadist dan takhrij sanadnya sebagai berikut[5]:
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وأبو كريب واللفظ لأبي كريب قالا حدثنا أبو معاوية عن الأعمش عن أبي سفيان عن جابر قال : أتى النبي صلى الله عليه و سلم النعمان بن قوقل فقال يا رسول الله أرأيت إذا صليت المكتوبة وحرمت الحرام وأحللت الحلال أأدخل الجنة ؟ فقال النبي صلى الله عليه و سلم نعم
[ ش ( وحرمت الحرام وأحللت الحلال ) قال الشيخ أبو عمرو بن الصلاح رحمه الله تعالى الظاهر أنه أراد به أمرين أن يعتقده حراما وأن لا يفعله بخلاف تحليل الحلال فإنه يكفي فيه مجرد اعتقاده حلالا ]
وحدثني حجاج بن الشاعر والقاسم بن زكرياء قالا حدثنا عبيدالله بن موسى عن شيبان عن الأعمش عن أبي صالح وأبي سفيان عن جابر قال : قال النعمان بن قوقل يا رسول الله بمثله وزادا فيه ولم أزد على ذلك شيئا
وحدثني سلمة بن شبيب حدثنا الحسن بن أعين حدثنا معقل ( وهو ابن عبيدالله ) عن أبي الزبير عن جابر أن رجلا سأل رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال : أرأيت إذا صليت الصلوات المكتوبات وصمت رمضان وأحللت الحلال وحرمت الحرام ولم أزد على ذلك شيئا أأدخل الجنة ؟ قال نعم قال والله لا أزيد على ذلك شيئا
Biografi Perawi hadist
1. Jabir bin Abdullah
Meriwayatkan 1.540 hadist, Ayahnya bernama Abdullah bin Amr bin Hamran Al-Anshari as-Salami. Ia bersama ayahnya dan seorang pamannya mengikuti Bai’at al-‘Aqabah kedua di antara 70 shahabat anshar yang berikrar akan membantu menguatkan dan menyiarkan agama Islam, Jabir juga mendapat kesempatan ikut dalam peperangan yang dilakukan oleh Nabi shalallahu alaihi wasallam, kecuali perang Badar dan Perang Uhud, karena dilarang oleh ayahnya. Setelah Ayahnya terbunuh, beliau selalu ikut berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Jabir bin Abdullah pernah melawat ke Mesir dan Syam dan banyak orang menimba ilmu darinya dimanapun mereka bertemu dengannya. Di Masjid Nabi, Madinah, ia mempunyai kelompok belajar, di sana orang-orang berkumpul untuk mengambil manfaat dari ilmu dan ketaqwaannya.
Beliau wafat di Madinah pada tahun 74 H. Abbas bin Utsman penguasa madinah pada waktu itu ikut menshalatkannya. Sanad terkenal dan paling Shahih darinya adalah yang diriwayatkan oleh penduduk Makkah melalui jalur Sufyan bin Uyainah, dari Amr bin Dinar, dari Jabir bin Abdullah.
2. Imam Muslim
       Nama lengkap beliau adalah Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi. Beliu lahir pada tahun 204 H atau 820 M di naisabur yaitu kota kecil di Iran bagian Timur Laut. Para Ulama’ sepakat atas keimanannya dalam hadist dan pengetahuannya tentang periwayatan hadist.
            Guru-guru beliau diantaranya Yahya bin Yahya, Ishaq bin Rahawaih, Muhammad bin Mahran, Abu Hasan bin Hanbal, Abdullah bin Maslamah, Yazid bin Mansyur, dll. Sedankan murid-murid beliau diantaranya Abu Hatim, Musa bin Haran, Abu Isa at-Turmudzi, Yahya bin Said, ibn Huzaimah, Awwanah, Ahmad bin mubarok. Beliau wafat pada tahun 261 H atau 875 M pada hari Ahad bulan Rajab di Naisabur.  
B. Penjelasan hadist[6].
Sahabat yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ini bernama Nu’man bin Qauqal. Abu ‘Amr bin Shalah mengatakan bahwa secara zhahir yang dimaksud dengan perkataan “aku mengharamkan yang haram” mencakup dua hal, yaitu meyakini bahwa sesuatu itu benar-benar haram dan tidak melanggarnya. Hal ini berbeda dengan perkataan “menghalalkan yang halal”, yang mana cukup meyakini bahwa sesuatu benar-benar halal saja.
Pengarang kitab Al Mufhim mengatakan secara umum bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak mengatakan kepada penanya di dalam Hadits ini sesuatu yang bersifat tathawwu’ (sunnah). Hal ini menunjukkan bahwa secara umum boleh meninggalkan yang sunnah. Akan tetapi, orang yang meninggalkan yang sunnah dan tidak mau melakukannya sedikit pun, maka ia tidak memperoleh keuntungan yang besar dan pahala yang banyak. Akan tetapi, barang siapa terus-menerus meninggalkan hal-hal yang sunnah, berarti telah berkurang bobot agamanya dan berkurang pula nilai kesungguhannya dalam beragama. Barang siapa meninggalkan yang sunnah karena sikap meremehkan atau membencinya, maka hal itu merupakan perbuatan fasik yang patut dicela.
Para ulama kita berpendapat : “Bila penduduk suatu negeri bersepakat meninggalkan hal yang sunnah, maka mereka itu boleh diperangi sampai mereka sadar. Hal ini karena pada masa sahabat dan sesudahnya, mereka sangat tekun melakukan perbuatan-perbuatan sunnah dan perbuatan-perbuatan yang dipandang utama untuk menyempurnakan perbuatan-perbuatan wajib. Mereka tidak membedakan antara yang sunnah dan yang fiqih dalam memperbanyak pahala. Para imam ahli fiqih perlu menjelaskan perbedaan antara sunnah dan wajib hanya untuk menjelaskan konsekuensi hukum antara yang sunnah dan yang wajib jika hal itu ditinggalkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak menjelaskan perbedaan sunnah dan wajib adalah untuk memudahkan dan melapangkan, karena kaum muslim masih baru dengan Islamnya sehingga dikhawatirkan membuat mereka lari dari Islam. Ketika telah diketahui kemantapannya di dalam Islam dan kerelaan hatinya berpegang kepada agama ini, barulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menggalakkan perbuatan-perbuatan sunnah. Demikian juga dengan urusan yang lain. Atau dimaksudkan agar orang tidak beranggapan bahwa amalan tambahan dan amalan utama keduanya merupakan hal yang wajib, sehingga jika meninggalkan konsekuensinya sama. Sebagaimana yang diriwayatkan pada Hadits lain bahwa ada seorang sahabat bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang shalat, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memberitahukan bahwa shalat itu lima waktu. Lalu orang itu bertanya : “Apakah ada kewajiban bagiku selain itu?” Beliau menjawab : “Tidak, kecuali engkau melakukan (shalat yang lain) dengan kemauan sendiri”.
Orang itu kemudian bertanya tentanng puasa, haji dan beberapa hukum lain, lalu beliau jawab semuanya. Kemudian, di akhir pembicaraan orang itu berkata : “Demi Allah, aku tidak akan menambah atau mengurangi sedikitpun dari semua itu”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam lalu bersabda : “Dia akan beruntung jika benar”. “Jika ia berpegang dengan apa yang telah diperintahkan kepadanya, niscaya ia masuk surga”. Artinya, bila ia memelihara hal-hal yang diwajibkan, melaksanakan dan mengerjakan tepat pada waktunya, tanpa mengubahnya, maka dia mendapatkan keselamatan dan keberuntungan yang besar. Alangkah baiknya bila kita dapat berbuat seperti itu. Barang siapa dapat mengerjakan yang wajib lalu diiringi dengan yang sunnah, niscaya dia akan mendapatkan keberuntungan yang lebih besar.
Perbuatan sunnah yang disyari’atkan untuk menyempurnakan yang wajib. Sahabat yang bertanya tersebut dan sahabat lain sebelumnya, dibiarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam keadaan seperti itu untuk memberikan kemudahan kepada kedua orang itu sampai hatinya mantap dan terbuka memahaminya dengan baik serta memiliki semangat kuat untuk melaksanakan hal-hal yang sunnah, sehingga dirinya menjadi ringan melaksanakannya.

C. Fiqh Al-Hadits[7].
1.      Setiap muslim dituntut untuk bertanya kepada ulama tentang syariat Islam, tentang kewajibannya dan apa yang dihalalkan dan diharamkan baginya jika hal tersebut tidak diketahuinya.
2.      Penghalalan dan pengharaman merupan aturan syariat, tidak ada yang berhak menentukannya kecuali Allah ta’ala.
3.      Amal shalih merupakan sebab masuknya seseorang kedalam surga.
4.      Keinginan dan perhatian yang besar dari para shahabat serta kerinduan mereka terhadap surga serta upaya mereka dalam mencari jalan untuk sampai ke sana.
















BAB III
PENUTUP


Hadits yang pertama ini amat berharga, mencakup berbagai ilmu, prinsip-prinsip agama, dan akhlaq. Hadits ini memuat keutamaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang mukmin, memberi manfaat kepada mereka dengan fasilitas ilmu, harta, bimbingan atau petunjuk yang baik, atau nasihat dan sebagainya. Diantara ma’na yang dapat diambil dari hadist ke-1 adalah sebagai berikut:
1.      Siapa yang membantu seorang muslim dalam menyelesaikan kesulitannya, maka akan dia dapatkan pada hari kiamat sebagai tabungannya yang akan memudahkan kesulitannya di hari yang sangat sulit tersebut.
2.      Sesungguhnya pembalasan disisi Allah ta’ala sesuai dengan jenis perbuatannya.
3.      Berbuat baik kepada makhluk merupakan cara untuk mendapatkan kecintaan Allah Ta’ala.
4.      Membenarkan niat dalam rangka mencari ilmu dan ikhlas di dalamnya agar tidak menggugurkan pahala sehingga amalnya dan kesungguhannya sia-sia.
5.      Memohon pertolongan kepada Allah ta’ala dan kemudahan dari-Nya, karena ketaatan tidak akan terlaksana kecuali karena kemudahan dan kasih sayang-Nya.
6.      Selalu membaca Al Quran, memahaminya dan mengamalkannya.
7.      Keutamaan duduk di rumah Allah untuk mengkaji ilmu.

Dalam hadist yang kedua, sahabat yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ini bernama Nu’man bin Qauqal. Diantara ma’na yang dapat diambil dari hadist ke-2 adalah sebagai berikut:
1.      Setiap muslim dituntut untuk bertanya kepada ulama tentang syariat Islam, tentang kewajibannya dan apa yang dihalalkan dan diharamkan baginya jika hal tersebut tidak diketahuinya.
2.      Penghalalan dan pengharaman merupan aturan syariat, tidak ada yang berhak menentukannya kecuali Allah ta’ala.
3.      Amal shalih merupakan sebab masuknya seseorang kedalam surga.
4.      Keinginan dan perhatian yang besar dari para shahabat serta kerinduan mereka terhadap surga serta upaya mereka dalam mencari jalan untuk sampai ke sana.


DAFTAR PUSTAKA


Ø  Abu ‘Abdillah, Hadist Arba’in An-Nawawi dengan Syarah Ibnu Daqiqil, Bandung: 2005.
Ø  Shahih Muslim, Maktabah Syamilah.
Ø  http://hadits2.multiply.com/journal/item/22
Ø  http://hadits2.multiply.com/journal/item/36


[1] Abu ‘Abdillah, Hadist Arba’in An-Nawawi dengan Syarah Ibnu Daqiqil, Hadis ke-36.
[2] Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Hadist ke-2699.
[3] Abu ‘Abdillah, Hadist Arba’in An-Nawawi dengan Syarah Ibnu Daqiqil, Hadis ke-36.
[4] http://hadits2.multiply.com/journal/item/36.
[5]Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Hadist ke-15.
[6] Abu ‘Abdillah, Hadist Arba’in An-Nawawi dengan Syarah Ibnu Daqiqil, Hadis ke-22.
[7] http://hadits2.multiply.com/journal/item/22.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar