Minggu, 13 November 2011

NAHWU BERBASIS SEMANTIC Semester IV

BAB I
PENGANTAR

Bahasa Arab mempunyai peranan yang amat penting bagi kehidupan manusia, khususnya umat Islam. Secara garis besar peranannya dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu :peranannya dalam agama, dalam ilmu pengetahuan dan dalam pergaulan. Dengan beberapa  peranan diatas, maka pembelajaran bahasa Arab kian hari mengalami kemajuan yang pesat. Tidak terbatas di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim, tetapi sudah merambah ke negara –negara barat dan negara-negara lain bahasa Arab sudah kian semarak dan mulai disukai oleh para mahasiswa.
Dalam setiap bahasa ada aturan, demikian juga dengan bahasa Arab. Aturan-aturan bahasa Arab disusun guna mempermudah bangsa lain/non Arab untuk mempelajarinya. Aturan-aturan  bahasa secara garis besar  meliputi;
ü  sistem bunyi/ phonologi system (الصوتى النظام),
ü  system kata dan bentuk perubahannnya/ morphology system (الصرفى النظام ), system kalimat dan susunan struktrurnya/ syntactical system ( النحو النظام ) serta  system  susunan kalimat dan jenis maknanya/ semantic system ( الدلالى النظام
Setelah penguasaan pada system bunyi bahasa Arab, kemudian dilanjutkan dengan pembelajaran sistem bentuk – bentuk kata yang dikenal dengan ilmu sharaf dan system penyusunan kalimat dan dikenal dengan  ilmu nahwu. Dan kedua istilah ilmu ini kemudian lebih sering digabungkan untuk sebutan ilmu  tata bahasa Arab dengan nama Ilmu Nahwu Sharaf
Dalam tataran praktis para pemula baik orang Arab apalagi non Arab merasa kesulitan dalam pembelajaran ilmu nahwu sharaf ini, dan khususnya ilmu nahwu yang disebabkan karena  begitu kompleknya kaidah-kaidah nahwu. Bagi pelajar Indonesia merasakan kesulitan ini dikarenakan kaidah nahwu sangat  jauh berbeda dengan kaidah bahasa Indonesia.
Contoh kesulitan tata bahasa Arab/ nahwu ini antara lain karena dalam bahasa Arab diketahui adanya teori I’rab ( perubahan harokat dan huruf di akhir kata) yang disebabkan karena ada  amil ( kata yang bisa mempengaruhi kata sesudahnya), teori tawabi’ ( teori penyesuaian I’rab kata dengan kata sebelumnya) dan masih banyak kaidah-kaidah lain yang menyulitkan bagi para pemula dimana kaidah-kaidah itu tidak ada dalam bahasa Indonesia. Namun di sisi lain kerumitan ini justru sebagai bukti bahwa bahasa Arab mempunyai kelebihan dan menunjukkan bahwa bahasa Arab itu kaya.
Dan makalah ini akan  kami mencoba menguraikan nahwu secara singkat yang penulis batasi pada usaha-usaha yang telah dilakukan  oleh Ibnu Madza Al- Qurtubi dan Dr Sauqi Dzaif. Karena hemat penulis usaha penyederhanaan dari kedua tokoh ini sudah mewakili upaya-upaya penyederhanaan dari para pakar bahasa lainnya. Pembatasan ini juga agar pembahasan lebih terfokus dan mendalam guna  pengembangan pengetahuan tentang penyederhanaan nahwu selanjutnya.[1] 


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Nahwu dan Sekelumit Sejarah Kemunculannya
Menurut Ahmad al Hasyim, nahwu secara etimologi berarti maksud, arah dan ukuran. Adapun  secara terminology nahwu adalah aturan (dasar hukum) yang digunakan untuk memberi baris (syakal) akhir kata sesuai dengan jabatannya masing-masing dalam kalimat agar terhindar dari kesalahan dan kekeliruan, baik bacaan maupun pemahaman[2]
Ilmu Nahwu yaitu ilmu tata bahasa arab yang mempelajari hubungan antara satu kata dengan kata yang lain dan i’rab (perubahan bunyi setiap huruf akhir dari suatu kalimat). Perbedaan pada i’rab biasanya akan mengakibatkan perubahan pada makna.[3]
Ilmu Nahwu yaitu suatu ilmu yang membicarakan mengenai hukum-hukum huruf, kata, dan kalimat, dan bagaimana bunyi akhir dari sebuah kata. Inti dari  ‘ilmu nahwu adalah ‘irab.[4]
Nahwu pertama kali digagas oleh Imam Ali bin Abi Thalib untuk memudahkan bagi orang Arab maupun non Arab untuk belajar bahasa Arab. Kemudian gagasan ini dikembangkan oleh Abul Aswad ad Duwali (w. 69 H). selanjutnya dimulai penyusunan pokok-pokok nahwu yang dipelopori oleh Abd al Rohman bin Harmez dan Nasr bin Hasyim. Keduanya murid dari Abu al Aswad ad Duwali.[5]
Pada abad ke- 2 Hijriyah nahwu dikembangkan oleh Al Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w.175 H)  dengan mematangkan teori  nahwu yang disusun   Sibawaih (w.180 H) yang nota bene sebagai murid Al Khalil sendiri. Langkah tersebut diikuti oleh Al-Akhfash al-Ausath ( w.211 H) dan Al- Mubarrid ( w. 286 H) dan ulama-ulama lain yang berkembang di negara Bashrah yang digolongkan menjadi al-Nuhat al-Bashariyun. Kemudian lahirlah kitab-kitab nahwu sebagai karya-karya monumental seperti Alfiyah Ibnu Malik, Alfiyah Al Suyuthi dan Alfiyah Ibnu Mu’thi.
Nahwu juga mengalami perkembangan dan kejayaan di daerah Kufah diaantara ulama-ulama yang mengembangkannya adalah Al-Kisai ( w.189 H), Al-Farra’ (w.208 H) Tsa’lab (w. 291 H) dll yang selanjutnya dikenal sebgai al –nuhat al-Kufiyun.
Pasca perkembangan  di  Bashrah dan Kuffah sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Madaris al-Nahwiyah nahwu mengalami kemajuan di Bagdad, Andalus dan Mesir. Pereode ini nahwu sudah mengalami efesiensi dan reformulasi seperti yang disusun oleh Ibn Jinny ( w. 392 H) di Bagdad, Ibn Madha Al-Qurtuby ( w. 592 H) di Andalus, Al-Sayuthi  (911 H) di Mesir. [6]

B. Urgensi Nahwu dan Kesulitan-kesulitannya
Nahwu disusun disamping untuk memudahkan orang untuk mempelajari bahasa Arab juga dapat sebagai alat bantu agar tidak  terjadi kesalahan-kesalahan dalam penggunaan bahasa Arab sebagai alat komunikasi baik tulisan maupun lesan. Karena terjadinya kesalahan tidak hanya terhadap kesulitan audience/orang kedua dalam memahami pesan, tetapi juga merubah makna pesan dari yang dimaksud oleh penyampai pesan. Sehingga siapapun yang belajar atau mengajar bahasa Arab, mutlak untuk memahami struktur sintaksis (nahwu) maupun morfologi (shorof).
Senada dengan itu, Ahmad Fuad Effendi menerangkan bahwa pengajaran tata bahasa (nahwu shorof) berfungsi sebagai penunjang tercapainya kemahiran bahasa, selanjutnya dikatakan tata bahasa bukan tujuan, melainkan sarana untuk dapat menggunakan bahasa dengan benar dalam komunikasi.
Mayoritas orang yang belajar nahwu merasa kesulitan dalam menguasai materi nahwu, khususnya non Arab, hal tersebut dikarenakan materi nahwu yang cukup banyak dengan aturan –aturan yang sangat rumit.
Muhammad Abd al-Syahid Ahmad memformulasikan beberapa kesulitan itu disebabkan karena; pertama; banyaknya topik-topik pembahasan materi nahwu yang antara satu sama lain memiliki perbedaan yang tipis seperti : maf’ul muthlaq, maf’ul ma’ah, maf’ul li ajlih dan lain-lain dan kedua contoh-contoh yang dipakai dalam menjelaskan materi adalah contoh-contoh yang tidak situasional dan jauh dari kehidupan sehari-hari peserta didik[7]
Menurut Ibnu Madha al Qurtubhi (w. 592 H), ada empat faktor penyebab sulitnya belajar nahwu.,
1)      teori  amil ( perubahan harakat/ sakl di akhir kata,
2)      teori ‘illat tsawani dan tsawalits (alasan dari pemberian sakl)
3)      teori qiyas ( mencari kesamaan tentang alasan perubahan harakat pada kata)
4)      teori al Tamarin al Muftaridhah ( kaidah-kaidah perubahan huruf dalam sebuah kata).[8]
Kesulitan khusus yang dihadapi pembelajar bahasa Arab Indonesia tentang nahwu adalah adanya perbedaan yang kontras antara Bahasa Arab dengan bahasa Indonesia. Perbedaan yang terpenting dapat penulis kelompokkan dalam 4 hal, yaitu :
1)      Adanya aturan cara membaca/ mengucapkan kata di akhirnya dan adanya perubahan bacaan yang disebabkan amil. Misalnya: رايت عمرا    ,جاء عمر 
2)      Perbedaan struktur kalimat nominal dan verbal, perbedaan aturan itu akan mempengaruhi pula dalam memahami bahasa Arab, mis ذ هب احمد الى السوق maka arti yang menurut susunan bahasa Indonesia adalah Pergi Ahmad ke pasar. Dan ini janggal menurut bahasa Indonesia.
3)      Perbedaan pola kalimat
- Pola penyusunan kata tunjuk, misalnya هذا القلم جميل  berbeda dengan     
 قلم جميل  هذا
- Pola pendahuluan obyek, misalnya السيارة سيركبها احمد ( O-P-S) pola ini asing dalam bahasa Indonesia
4)      Adanya persesuaian antara kata dalam  kalimat
ü Kesesuaian I’rab/ harokat/ bunyi kahir kata , contoh كتاب جميل, كتابا جميلا
ü Kesesuaian jenis kata contoh kata كتاب جميل, مدرسة جميلة[9]

C. Aspek Cabang Ilmu Bahasa Arab.
            Dilihat dari segi penggunaannya maka bahasa ‘arab ini terbagi menjadi dua yaitu : bahasa ‘ammiyah (bahasa yang dipakai untuk berkomunikasi), berasal dari bahasa daerah di jazirah arabiya dan tidak terikat pada tata bahasa.  Kedua bahasa fushah yakni bahasa resmi, contohnya bahasa al Qur’an dan hadist, kitab-kitab ‘arab gundul  mutabanat hizbut tahrir, surat-menyurat, karangan ilmiah kitab-kitab dst. Bahasa fushah ini mempunyai tingkat kesulitan tersendiri karena terikat erat dengan peraturan kebahahasaan diantaranya ilmu nahwu (I’rab), Sharaf (tashrif) dan ilmu balaghah, ciri khas dari bahasa fushah ini adalah tatanan bahasanya yang sangat rapi, tertib, sistematis dan indah.
Sehingga sangat wajar selain merupakan kewajiban juga untuk mempelajari bahasa arab, tidak ada alasan untuk tidak mempelajari bahasa ‘arab. Hanya dengan bahasa ‘arab kita dapat memahami islam (al Qur’an dan hadist). Adapun dari aspek cabang ilmu bahasa arab dari berbagai referensi yang ada para sastrawan arab menyimpulkan ada sekitar 13 cabang ‘ilmu bahasa arab yang mereka sebut sebagai ulumul ‘arabiayah :
1. ‘ilmu lughah : ‘ilmu yang menguraikan kata-kata (lafadz) arab bersamaan dengan maknanya. Dengan pengetahuan ini, orang akan dapat mengetahui asal kata dan seluk beluk kata. Tujuan ilmu ini untuk memebrikan pondasi dalam percakapan, pidato, surat-menyurat, sehingga seseorang dapat berkata-kata dengan baik dan menulis dengan baik pula
2.  ‘ilmu nahwu : membicarakan mengenai hukum-hukum huruf, kata, dan kalimat, dan bagaimana bunyi akhir dari sebuah kata. Inti dari  ‘ilmu nahwu adalah ‘irab.  Dengan kaidah-kaidah ini orang dapat mengatahui Arab baris akhir kata (kasus), kata-kata yang tetap barisnya (mabni), kata yang dapat berubah ( mu’rab). Tujuanya adalah untuk menjaga kesalahan-kesalahan dalam mempergunakan bahasa, untuk menghindarkan  kesalahan makna dalam rangka memahami AI-Quran dan Hadist, dan tulisan-tulisan ilmiah atau karangan.  Alam tata bahasa/ sintaksis Arab, dikenal istilah  Fi’iil dan Harf, jumlah Ismiyah dan Fi’liyah serta Syibhul  al jumlah.I’rob إعرب berasal dari ‘arab عرب, sering disebut dengan “arabization” atau “peng-arab-an”. Mengapa disebut “peng-arab-an”? Karena bahasa arab sangat kaya dengan perubahan bunyi akhir dari sebuah kata.contoh :  أذهب إلى المسجد – adzhabu ilal masjidi : saya sedang pergi ke masjid. Kata “masjid” disini dibaca “masjidi”. Kenapa bukan “masjidu”, atau “masjida”, atau “masjidun” atau bukan “masjidan”, ataupun “masjidin”? Karena begitulah aturan nahwu-nya.Kalau kata masjid itu digunakan dalam kedudukan lain:المسجد كبير – al-masjidu kabiirun Disini “masjid” dibaca, “masjidu”. Tidak “masjidi”, atau yang lainnya. Kenapa bisa begitu? Ya karena begitulah peraturan nahwu arabic fusha (tata bahasa Al-Quran). Terlihat bahwa, yang jadi fokus adalah cara membaca dari akhir kata, apakah berakhiran, “u” — seperti “masjidu”, atau “i” — seperti “masjidi”. Ini lah yang kita sebut dengan i’rab (arabization).
3. ‘Ilmu Sharaf (morfologi Arab) : membicarakan asal bentuk kata (masdar) dari masdar kita akan mengetahui bagaimana perubahan bentuk suatu kata kerja dari bentuk past (lampau), present (sedang-akan), dan perintah, perubahan bentuk kata kerja ke kata benda turunan, dan juga perubahan bentuk kata kerja sesuai pelaku dari perbuatan dan ini tergantung dari wazan asal kata tsb. Inti dari sharaf adalah tashrif.Seperti:
أذهب إلى المسجد – adzhabu ilal masjidi : saya sedang pergi ke masjid
Disini digunakan kata أذهب – adzhabu untuk menekankan bahwa pekerjaan “pergi” itu belum selesai.
Jika sudah selesai, maka kata kerja adzhabu berubah jadi dzahabtu.
ذهبت إلى المسجد – dzhabtu ilal masjidi : saya sudah pergi ke masjid
Ada lagi perubahan dari kata kerja ke kata benda. Contoh:
ذهب – dzahaba : pergi –> kata kerja
ذاهب – dzaahibun : orang yang pergi –> kata benda
Nah perubahan dari bentuk adzhabu ke dzahabtu inilah yang dibahas oleh Sharaf. Demikian juga perubahan dari kata kerja ke kata benda ini juga dibahas dalam Sharaf.
Dua hal ini (perubahan kata kerja past ke present, dan, perubahan kata kerja ke kata benda) disebut dengan Tashrif Ishtilahi.
Sharaf, juga membahas perubahan bentuk kata kerja jika pelakunya berubah. Seperti dalam contoh sebelumnya, untuk pelaku “kami”.
ذهبنا إلى المسجد – dzhabnaa ilal masjidi : Kami sudah pergi ke masjid
Perubahan yang seperti ini disebut Tashrif Lughowi (perubahan kata kerja karena berubahnya pelaku).
4. ‘Ilmu Isytiqaq : Ilmu pengetahuan tentang asal kata dan pemecahannya, tentang imbuhan pada kata (hampir sama dengan ilmu Sharaf).
5. ‘Ilmu ‘arudh : Yang membahas hal-hal yang bersangkutan dengan karya sastra syair dan puisi. llmu Arudh  memberitahukan tentang  wazan-wazan (timbangan) syair dan tujuanya adalah untuk membedakan proses dalam puisi membedakan syair dan bukan syair .Dengan ilmu arudh ini dikenal bahar syair seperti berikut ini : bahar thawi, bahar madid, bahar basith,  bahar wafir, bahar  kamil, bahar  hijaz, bahar rozaz, bahar sari’ bahar munsarih, bahar khafif, bahar mudhari, bahar muqradmib, bahar mujtas, bahar mutaqarib, bahar Romawi dan bahar mutadarik.
6. ‘Ilmu Qawafi : yang membahas suku terakhir kata dari bait-bait syair sehingga diketahui keindahan  syair. Yang memprakarsai adanya Qawafi ialah Muhallil bin Rabi’ah paman Amruul Qaisy.
7. llmu Qardhus Syi’ri : sejenis ilmu pengetahuan  tentang karangan yang berirama (lirik), dengan tekanan suara yang tertentu. Gunanya untuk membantu menghafalkan syair dan mempertajam ingatan pembaca syair.
8.  ‘Ilmu hkat : pengetahuan tentang huruf dan cara merangkaikannya, termasuk bentuk halus kasarnya dan seni menulis dengan indah dapat dibedakan dalam beberapa bentuk mulai dari khat tsulus, Diwan, Parsi dan khat nasakh. Penemu pertama ilmu khat adalah nabi Idris karena beliaulah yang pertama kali menulis dengan kalam.
9. ‘Ilmu Insyak : ilmu pengetahuan  tentang karang mengarang surat, buku, pidato, cerita artikel, features dan sebagainya. Gunanya untuk menjaga jangan sampai salah dalam dunia karang-mengarang.
10. Ilmu Mukhadarat : pengetahuan tentang cara-cara memperdalam suatu persoalan, untuk diperdebatkan didepan majlis, untu  menambah keterampilan berargumentasi, mahir bertutur dan terampil mengungkapkan cerita.
11.Ilmu Badi’ : pengetahuan, tentang seni sastra, Penemu imu ini adalah Abdullah bin Mu’taz. llmu ini ditujukan untuk menguasai seluk beluk sastra sehingga memudahkan seseorang dalam meletakkan  kata- sesuai  tempatnya sehingga  kata-kata tadi  berlin bertelindan dengan indah, sedap didengar dan mudah diucapkan.
12.Ilmu Bayan : ilmu yang  menetapkan  beberapa peraturan  dan kaedah untuk mengetahui makna yang terkandung dalam kalimat penemunya adalah Abu  Ubaidah yang menyusun pengetahuan ini dalam “Mujazu Al-Quran” kemudian berkembang pada imam Ahu T ,qahir disempurnakan oleh pujangga-pujangga Arab  lainnya seperti AI-Jahiz, .lbnu Mu’taz, Qaddamah dan Abu Hilal Al- Asikari. Dengan ilmu ini akan diketahui rahasia bahasa arab dalam prosa dan puisi, keindahan sastra Al-Quran dan Hadist Tanpa mengetahui ilmu ini seseorang tidak akan dapat menilai apalagi memahami isi al Quran dan Sabda nabi dengan sesungguhnya.
13.Ilmu Ma’ani : pengetahuan untuk menentukan beberapa kaedah untuk pemakaian kata sesuai dengan keadaan (situasi dan kondisi) dalam istilah disebutkan “Muthabiq Lil /muqtadhal Hali” tujuannya untuk mengetahui I’jaz Al-Quran, keindahan sastra Al-Quran yang tiada taranya.[10]
Yang penting bagi kita adalah mempelajari dasar-dasar bahasa ‘arab terlebih dahulu nahwu dan sharaf. Faham bagaimana meng’irab suatu kalimat dan belajar menguasai wazan-wazan (timbangan-timbangan)  ketika belajar tashrif.


BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian tersebut diatas, dengan menampilkan beberapa fakta sesuai dengan kemampuan  kami, serta melihatnya dari beberapa aspek, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
ü  Ilmu Nahwu yaitu ilmu tata bahasa yang mempelajari hubungan antara satu kata dengan kata yang lain dan i’rab (perubahan bunyi setiap huruf akhir dari suatu kalimat). Perbedaan pada i’rab biasanya akan mengakibatkan perubahan pada makna.
ü  Nahwu pertama kali digagas oleh Imam Ali bin Abi Thalib untuk memudahkan bagi orang Arab maupun non Arab untuk belajar bahasa Arab. Kemudian gagasan ini dikembangkan oleh Abul Aswad ad Duwali (w. 69 H). selanjutnya dimulai penyusunan pokok-pokok nahwu yang dipelopori oleh Abd al Rohman bin Harmez dan Nasr bin Hasyim. Keduanya murid dari Abu al Aswad ad Duwali
ü  Nahwu disusun disamping untuk memudahkan orang untuk mempelajari bahasa Arab juga dapat sebagai alat bantu agar tidak  terjadi kesalahan-kesalahan dalam penggunaan bahasa Arab sebagai alat komunikasi baik tulisan maupun lesan. Karena terjadinya kesalahan tidak hanya terhadap kesulitan audience/orang kedua dalam memahami pesan, tetapi juga merubah makna pesan dari yang dimaksud oleh penyampai pesan. Sehingga siapapun yang belajar atau mengajar bahasa Arab, mutlak untuk memahami struktur sintaksis (nahwu) maupun morfologi (shorof).
ü  Adapun dari aspek cabang ilmu bahasa arab dari berbagai referensi yang ada para sastrawan arab menyimpulkan ada sekitar 13 cabang ‘ilmu bahasa arab yang mereka sebut sebagai ulumul ‘arabiayah yang mana telah dipaparkan diatas.


DAFTAR PUSTAKA

ü  Al-Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Al- Qawa’id al Assasiyat li al-Lughat al-Arabiyah, (Bairut : Dar al-Kutub aal-Ilmiyah, t.th),
ü  Ahmad Afify. Al Mandzumah Al Nahwiyah al- Mansubah li Al Khalil bin Ahmad Al Farahidy. Cairo: Al Daar Al Manshuriyah Al Baniyah, 2003,
ü  Muhammad Abd. Al_syahid Ahmad, Thuruq Ta’lim Qawa’id al-Lughat al-Arabiyah, ( Kairo : Maktabah al-Nahdhat al-Mishriyah, 1987M),
ü  Syauqi Dhayf (ed). Kilab al- Radd ala al- Nuhat li Ibn Madha al- Qurtubhi. (Cairo: Daar al Ma’arif, cet ke- 3, tt
ü  Dr. Syauqi Dzaif, Tajdid al-Nahwi, ( Kairo: Dar al Ma’arif , tahun 1882)
ü  http://firdaus1985.wordpress.com/
ü  http://firdaus1985.wordpress.com/




[1] Dr. Syauqi Dzaif, Tajdid al-Nahwi, ( Kairo: Dar al Ma’arif , tahun 1982) hal. 3-4
[2] Al-Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Al- Qawa’id al Assasiyat li al-Lughat al-Arabiyah, (Bairut : Dar al-Kutub aal-Ilmiyah, t.th), hal.6-7
[4] http://firdaus1985.wordpress.com/
[5] Ahmad Afify. Al Mandzumah Al Nahwiyah al- Mansubah li Al Khalil bin Ahmad Al Farahidy. Cairo: Al Daar Al Manshuriyah Al Baniyah, 2003, hal. 53
[6] Ibid, hal :11
[7] Muhammad Abd. Al_syahid Ahmad, Thuruq Ta’lim Qawa’id al-Lughat al-Arabiyah, ( Kairo : Maktabah al-Nahdhat al-Mishriyah, 1987M), hal. 172
[8] Syauqi Dhayf (ed). Kilab al- Radd ala al- Nuhat li Ibn Madha al- Qurtubhi. (Cairo: Daar al Ma’arif, cet ke- 3, tt, hal. 24-46
[9] Dr. Syauqi Dzaif, Tajdid al-Nahwi, ( Kairo: Dar al Ma’arif , tahun 1982) hal. 3-4
[10] http://firdaus1985.wordpress.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar