Rabu, 16 November 2011

. A. Potensi yang dimiliki manusia&Kedudukan manusia dan Alam Semesta(makalahnya Faizin CooooYYYYY)


Daftar isi
Bab I
Pendahuluan ………………………………………………………………………………………
Bab II
Pembahasan ………………………………………………………………………………………
Hakikat Manusia ………………………………………………………………………………….
A.     Potensi yang dimiliki manusia …………………………………………………………..
B.     Kedudukan manusia dan Alam Semesta ………………………………………………...
Bab III
Penutup ……………………………………………………………………………………………
Kesimpulan ………………………………………………………………………………………..
Daftar pustaka














Bab I
Pendahuluan
            Uraian tentang kedudukan manusia di alam semesta dalam hubungannya dengan pendidikan islam, merupakan bagian yang amat penting, karena dengan uraian ini dapat diketahui dengan jelas tentang potensi yang dimiliki manusia serta peranan yang harus dilakukannnya dalam alam semesta. Uraian ini selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar bagi perumusan tujuan pendidikan. Selain itu, uraian ini  juga penting dilakukan karena manusia dalam kegiatan pendidikan merupakan sebjek dan objek yang terlibat didalamnya. Tanpa ada kejelasan konsep tentang manusia ini, maka akan sulit ditentukan arah yang dituju dalam pendidikan.
            Berdasar pada pemikiran tersebut di atas, maka pembahasan dalam hal ini akan diarahkan kepada dua hal, yaitu: 1) pembahasan tentang potensi yang dimiliki manusia, 2) kedudukan manusia dalam alam semesta, 3) Manusia dalam pandangan islam. di dalamnya dibahas tentang bekal yang perlu dimiliki manusia dalam melakukan peranan dan kedudukannya serta peranan pendidikan dalam rangka membantu mempersiapkan manusia untuk berperan di alam semesta.
            Ketiga sub pokok bab ini dijelaskan berdasarkan informasi yang diberikan al-Quran dan al-Hadits serta dengan mencoba mengemukakan diberikan al-Quran dan al-Hadits serta dengan mencoba mengemukakan pandangan para ahli di luar islam yang membahas masalah tersebut. Hal yang terakhir ini dilakukan sebagai bahan perbandingan serta memperjelas pandangan al-Quran dan al-Hadits tersebut. Untuk lebih jelasnya ikutilah uraian di bawah ini.
Bab II
Hakikat Manusia
A.    Potensi Yang Dimiliki Manusia

Dalam berbagai literature, khususnya di bidang filsafat dan antropologi dijumpai berbagai pandangan para ahli tentang hakikat manusia. Sastraprateja, misalnya mengatakan bahwa manusia adalah mahluk yang historis. Hakikat manusia sendiri adalah sejarah, suatu peristiwa yang semata-mata datum. Hakikat manusia yang di lihat dalam perjalanan sejarahnya, dalam sejarah perjalanan bangsa manusia,. Sastrapateja lebih lanjut mengatakan, bahwa apa yang kita peroleh dari pengamatan kita atas pengalaman manusia adalah suatu rangkaian anthropological constants yaitu dorongan-dorongan dan orientasi yang tetap dimiliki manusia. Lebih lanjut, ia menambahkan ada sekurang-kurangnya enam anthropological constants yang dapat ditarik dari pengalaman sejarah umat manusia, yaitu; (a) relasi manusia dengan kejasmanian, alam, dan lingkungan ekologis; (b) keterlibatan dengan sesama; (c) keterikatan dengan struktur sosial dan institusional; (d) ketergantungan masyarakat dan kebudayaan pada waktu dan tempat; (e) hubungan timbal balik antara teori dan praktis; (f) kesadaran religius dan para religious. Ke-enam anthropological constants merupakan satu sintensis dan masing-masing berpengaruh.[1]
Pendapat tersebut terkesan memberikan gambaran tentang manusia dari sudut empiris, yaitu dari sudut dimana manusia itu hidup dan bereksistensi dalam kehidupannya. Hal ini akan membantu untuk menjelaskan proses perjalanan yang harus ditempuh pada umumnya. Keenam masalah tersebut nampak merupakan rangkaian kegiatan yang tidak bisa ditinggalkan oleh manusia, yang secara umum dapat dikatakan bahwa dalam beresksistensinya manusia tidak bisa melepaskan dari ketergantungannya pada orang lain.
            Sementara itu, dikalangan para filosof Yunani[2] dijumpai juga pembahasan tentang manusia, khususnya filsafat yunani pada babakan kedua yang berusaha memahami hakikat kehidupan alam kecil (micro cosmos), yaitu manusia yang tokoh-tokohnya seperti Socrates(4470-339 SM), plato (428-348 SM), dan Sebagainya.
            Dalam pada itu dari kalangan pemikiran abad modern, pembhasan manusia juga dapat dijumpai pada Dr. Alexis Carrel (seorang peletak dasar-dasar humaniora di barat). Dia mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang misterius, karena derajat keterpisahan manusia dari dirinya berbanding terbalik dengan perhatiannya yang demikian tinggi terhadap dunia yang ada di luar dirinya.[3] Pendapat ini menunjukkan tentang betapa sullitnya memahami manusia secar tuntas dan menyeluruh. Hingga setiap kali seseorang selesai memahami dari satu aspek tentang manusia, maka muncul pula aspek lainnya yang belum mereka bahas.
            Selajutnya bagaimanakah potret yang dimiliki manusia. Untuk hal ini, al-Quran memperkenalkan dua kata kunci untuk memahami manusia secara koprehensif. Kedua kata kunci tersebut adalah kata al-Insan dan al-Basyar . kata Insan yang bentuk jamaknya al-nas dari segi semantik (Ilmu Tentang Akar Kata), dapat dilihat dari asal kata anasa yang mempunyai arti melihat, mengetahui dan minta izin. Atas dasar ini kata tersebut mengandung kata petunjuk adanya kaitab substansial antara manusia dengan kaitan penalarannya itu manusia dapat mengambil pelajaran dari apa yang dillihatnya, ia dapat pula mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, dan terdorong untuk meminta izin untuk menggunakan sesuatu yang bukan miliknya.[4] Pengertian ini menunjukkan dengan jelas adanya potensi untuk dididik pada diri manusia. Dengan informasi ini dapat dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang dapat diberi pelajaran atau pendidikan.
            Selanjutnya kata insan jika dilihat dari asalnya nasiya yang artinya lupa, menunjukkan adanya kaitan yang erat antara manusia dengan kesadaran dirinya. Abu Tamam dalam salah satu sya’irnya yang dikutip Muhammad ‘Aqod mengatakan: “ Janganlah kamu lupa perjanjian itu. Engkau dinamakan insan karena engkau pelupa”. Manusia lupa terhadap sesuatu hal, disebabkan ia kehilangan kesadaran terhadap sesuatu. Oleh karena itu, dalam kehidupan agama, jika seseorang lupa kepada suatu kewajiban yang seharusnya dilakukannya, maka ia tidak berdosa. Ini disebabkan karena ia kehilangan kesadaran terhadap kewajibannya itu.
            Sedangkan insane dilihat dari asalnya al-uns atau anisa dapat berarti jinak. Atas dasar ini binatang seperti kucing, dapat disebut binatang yang anis. Kata al-insan dan al-insi keduanya dapat bersal dari anisa. Akan tetapi dalam al-Quran kata al-insi selamanya dipakai dalam kaitan dengan kata al-jinni dapat diartikan sebagai lawan dari kata anisa (jinak). Oleh karena itu, makhluk jin dapat diartikan sebagai makhluk yang buas.[5]
            Adapun kata basyar dipakai untuk menyebut semua makhluk, baik laki-laki maupun perempuan, baik secara individual maupun kolektif. Kata basyar adalah jamak dari basyarah yang artinya permukaan kulit kepala, wajah, dan tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. Ibnu Barzah mengartikannya sebagai kulit luar. Al-Lais mengartikannya sebagai permukaan kulit pada wajah dan tubuh manusia. Oleh karena itu, kata mubasyarah diartikan mulamasah yang artinya persentuhan antara kulit laki-laki dan kulit perempuan. Disamping itu, kata mubasyarah juga diartikan sebagai al-liwat atau al-jima’ yang artinya persetubuhan.[6]
            Selanjutnya bagaimanakah pengertian dari kata-kata tersebut dihubungkan dengan informasi yang terdapat dalam al-Quran. Untuh ini hasil penelitian yang dilakkukan Musa Asy’ari, menjelaskan bahwa kata insan dalam al-Quran digukan untuk menunjuk kepada manusia dalam bentuk tunggal, yakni sama dengan pemakaian kata ins. Sedangkan untuk jamaknya dipakai kata al-nas, unasi, insiyya, anasi. Kata insan dalam al-Quran disebut sebanyak 65 kali dalam 32 ayat, sedangkan kata ins disebut 18 kali dalam 17 ayat. Selanjutnya kata al-nas disebut 241 kali dalam 225 ayat. Kata unasi disebut 1 kali dalam 1 ayat. Adapun kata basyar disebut 36 kali dalam 36 ayat.[7]
            Untuk lebih jelasnya dapat dilihat beberapa pemkaian kata tersebut didalam al-Quran sebagaimana yang terlihat di bawah ini:
            Kata al-insan yang bersal dari kata anasa dan nasiya. Kata anasa dalam arti melihat, misalnya terlihat pada ayat:
اذا رأى نـارا فقـال لأهـله امكسوا إنّى انست نـار
Ketika ia melihat api, lalu berkata ia kepada keluarganya: “Ingatlah kamu disini sesungguhnya aku melihat api…”(Q.S. Thaha, 20:10)
            Selanjutnya terdapat kata anasa dalam arti mengetahui terdapat pada ayat:
وبتلوا اليتـامى حتّى إذا بلغـوا النّكاح فـإن انستم منهم رشـدا فد فعـوا إليهم أمـوالهم
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut mereka cukup cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta bendanya. (Q.S. al-Nisa, 4:6)
            Seterusnya kata anasa dalam arti minta izin terlihat pada ayat yang berbunyi:
يـاايّهـا الّذين امنـوا لاتدخلوا بيوتـا غير بيوتكم حتّى تستأنسـوا وتسلّمـوا على أهلهـا
Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memasuki tanah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberisalam kepada penghuninya. (Q.S. al-Nur., 24:27)
            Selain itu nama insan dalam al-Quran digunakan dalam hubungan dengan lapangan kegiatan yang amat luas. Misalnya untuk menyatakan bahwa manusia dapat menerima pelajaran dari Tuhan tentang apa yang tidak diketahuinya (lihat Q.S. al-Alaq, 96:1-5); untuk menyatakan bahwa manusia mempunyai musuh yang nyata, yaitu syaithan (lihat Q.S. Yusuf, 12:5). Selanjutnya kata insan digunakan untuk menyatakan bahwa manusia dapat menerima pelajaran dari Tuhan tentang al-bayan, perkataan yang fashih dan jelas (lihat Q.S. al-Ahzab, 33:72); digunakan untuk memerintahkan manusia agar pandai menggunakan waktu agar tidak menjadi orang yang merugi (lihat Q.S. al-Ashr, 103:1-3); digunakan untuk menerangkan bahwa manusia hanya akan mendapatkan bagian dari apa yang telah dikerjkannya (lihat Q.S. al-Najm, 53:39); digunakan untuk menjelasakan bahwa manusia mempunyai keterikatan dengan moral atau sopan santun (lihat Q.S. al-Ankabut, 29:8).
            Selanjutnya al-Quran menghubungkan kata insan dengan an-nas. Kata ini digunakan al-Quran untuk menyatakan adanya kelompok orang atau masyarakat yang mempunyai kegiatan untuk mengembangkan kehidupannya. Berbagai kegiatan tersebut antara lain dapat dilihat melalui kegiatannya di bidang peternakan (lihat Q.S. al-Qashash, 29:8); manusia dengan kegiatannya di bidang penngolahan besi (lihat Q.S. al-Hadid, 57:25); manusia dengan kegiatannya bidang pelayaran (lihat Q.S. al-Baqarah, 2:164); manusia dengan kegiatannya di bidang perubahan social (lihat Q.S. Ali-Imran, 3:140); manusia dan kepemimpinannya (lihat Q.S. al-Baqarah, 2:124); manusia dalam hubungannya dengan ibadah (lihat Q.S al-Baqarah, 2:21).
            Selaian itu terdapat pula kata insan  dalam hubungannya dengan kata al-ins. Di dalam al-Quran kata al-ins yang serumpun dengan kata insan ini dihubungkan dengan kemampuan manusia untuk menembus ruang angkasa (lihat Q.S. al-Rahman,55:33); dalam hubungannya dengan tantangan untuk membuat serupa al-Quran (lihat Q.S. al-isra’, 17:88).
Akar kata lainnya dari kata al-insan adalah unasi. Kata ini dalam al-Quran digunakan oleh untuk menjelaskan pengetahuan manusia tentang air minumnya (lihat Q.S. al-A’raf, 7:160); untuk menerangkan kemampuannya dalam memimpin (lihat Q.S. al-A’raf, 7;160); untuk menerangkan kemampuannya dalam memimpin (lihat Q.S. al-isra’, 17:71).
            Informasi al-Quran tentang kata insan tersebut dengan mengacu kepada manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi intelektual dan kejiwaan yang pada perkembangan selanjutnya potensi-potensi ini menjadi alat utama dalam memperoleh pengajaran dan pendidikan. Dari uraian demikian, jelas sekali bahwa manusia adalah makhluk yang amat mungkin dapat dididik atau diberi pelajaran.
Adapun kata basyar yang disebut al-Quran sebanyak 36 ayat, dipakai untuk menyebut manusia dalam pengertian lahiriyyahnya. Satu ayat diantaranya menyebutkan kata basyar dalam pengertian kulit manusia (lihat Q.S. al-Muddatsir, 74:27). Selanjutnya ada juga kata basyar digunakan untuk persentuhan laki-laki dan perempuan. Selain itu terdapat pula kata basyar yang dihubungkan dengan proses kematian. Ini berarti bahwa manusia secara fisik akan berakhir dengan mati (lihat Q.S. al-Anbiya’, 23:344-35). Dengan demikian kata basyar Nampak pada fisiknya, atau lahiriyahnya, secara umum antar satu dengan yang lainnya mempunyai persamaan-persamaan. Pengertian basyar tidak lain adalah manusia dalam kehidupannya sehari-hari yang berkaitan dengan aktivitas lahiriyahnya, yang dipengaruhi oleh dorongan kodrat amaliahnya seperti makan, minum, bersetubuh dan akhirnya mengakhiri kegiatannya. Melalui aktifitas basyariahnya yaitu aktifitas tubuhnya, maka gagasan dan pemikiran manusia dapat diwujudkan dalam bentuk kongkret, yaitu bentuk-bentuk sebagai hasil karya dan cipta manusia, yang menempati ruang tertentu, dapat di raba dan di foto, seperti lukisan , tari-tarian dan kegiatan mengolah hasil pada industry logam.
            Berdasarkan dengan petunjuk ayat-ayat diatas, para ulama selanjutnya sampai pada kesimpulan bahwa manusia itu merupakan perpaduan antara unsure jasmani dan rohani, unsur fisik dan jiwa yang antara satu dengan yang lain saling berhubungan. Khusus mengenai jiwa dan roh yang dimiliki manusia banyak di kaji oleh kalangan para filosof muslim yang mengkajinnya. Al- Farabi (870-950 M), misalnya mencoba merinci masalah jiwa. Usaha perincian ini lebih lanjut dikembangkan oleh Ibnu Sina (980-1037 M) yang mencoba memilah-milahkan jiwa menjadi tiga hal, jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa binatang, dan jiwa manusia.[8]
            Berbeda dengan pendapat diatas, para mautakallimin, ahli sufi, dan ahli hadits berpendapat bahwa jiwa manusia merupakan jisim halus yang panjang, lebar, dalam, mampu berfikir, menghajatkan tempat, mampu membedakan, mengendalikan jasadnya. Hal ini menurut tokoh mu’tazilah al-Nazam, merupakan bagian terpenting dalam diri manusia serta merupakan hakikat manusia.
B.     Kedudukan Manusia dan Alam Semesta
Dalam berbagai literature yang membahas mengenai kedudukan manusia dalam alam semesta ini selalu dihubungkan dengan konsep kekhalifahan manusia di muka bumi dan konsep ibadah. Quraish Shihab dalam bukunya membumikan al-Quran, misalnya telah membahas masalah kekhalifahan ini. Menurut hasil penilitiannya, bahwa di dalam al-Quran terdapat kata khalifah dalam bentuk tunggal sebanyak dua kali, yaitu dalam surat al-Baqarah ayat 30 dan shod ayat 26; dan dalam bentuk plural (jamak), khala’if dan khulafa’ yang masing-masing diulang empat tiga kali. (lihat Q.S. al-An’am, 6:165; yunus, 10:14, 73; Fathir, 35:39; al-‘Araf, 7:69, 74 al-Naml, 27:62).
            Keseluruhan kata tersebut menurutnya berakar kepada kata khulafa’ yang mulanya berarti “di belakang”. Dari sini, kata khalifah menurutnya seringkali diartikan “pengganti” (karena yang menggantikan selalu berada atau datang di belakang, sesudah yang digantikannya).[9]
            Dalam uraian selanjutnya Quraish Syihab menguraikan segi penggunaan istilah-istilah tersebut. Dengan mengacu kepada ayat yang artinya: “Dan Daud membunuh Jalut, Allah memberimya kekuasaan/kerajaan dan hikmah serta mengajarkannya apa yang dia kehendaki…” Quraish Shihab mengatakan bahwa kekhalifahan yang dianugerahkan  kepada Daud as. bertalian dengan kekuasaan mengolah wilayah tertentu. Hal ini diperolehnya berkat anugerah ilahi yang mengajarkan kepadanya al-hikmah dan pengetahuan. Disebutnya istilah kekhalifahan yang dikaitkan dengan upaya Tuhan yang mengajarkan al-hikmah dan pengetahuan sebagaimana disebutkan itu memberikan petunjuk yang jelas tentang adanya kaitan yang erat antara pelaksanaan fungsi kekhalifahan dengan pendidikan dan pengajaran. Yaitu bahwa untuk dapat melaksanakan fungsi kekhalifahan itu seseorang perlu dibekali pendidikan.
            Selanjutnya masih menurut Quraish Shihab, bahwa makna “pengolahan wilayah tertentu” atau katakanlah bahwa pengolahan tersebut berkaitan dengan kekuasaan politik. Dipahami pula pada ayat-ayat yang menggunakan bentuk khulafa’. Ini berbeda dengan kata khalaif yang tidak mengesankan adanya kekuasaan semacam itu, sehingga pada akhirnya kita berkata bahwa sejumlah orang yang tidak mempunyai kekuasaan politik dinamai al-Quran khalaif, tanpa menggunakan bentuk mufrad tunggal (khalifah). Tidak digunakannya bentuk tunggal untuk makna tersebut agaknya mengisyaratkan bahwa kekhalifahan yang diemban oleh setiap orang tidak dapat terlaksana tanpa bantuan orang lain, berbeda dengan khalifah yang bermakna penguasa dalam bidang politik itu. hal ini dapat terwujud dalam diri pribadi seseorang atau diwujudkan dalam bentuk otoriter atau dictator.
            Selanjutnya jika diamati dengan seksama, Nampak bahwa istilah kekhalifahan dalam bentuk mufrad (tunggal) yang berarti penguasa politik hanay digunakan untuk Nabi-Nabi, yang dalam hal ini Nabi Adam as. dan tidak digunakan untuk manusia pada umumnya. Sedangkan untuk manusia biasa diginakan istilah khalaif dari pada khalifah. Namun demikian yang terjadi dalam penggunaan sehari-hari adalah manusia sebagai khalifah di muka bumi. Pendapat demikian memang tidak ada salahnya, karena dalam istilah khalaif  sudah terkandung istilah khalifah. Sebagai seorang khalifah, ia berfungsi menggantikan orang lain dan menempati tempat serta kedudukannya. Ia menggantikan orang lain, menggantikan kedudukannya, kepemimpinannya atau kekuasaannya.
            Untuk lebih manegaskan fungsi kekhilafan manusia di ala mini, dapat dilihat miasalnya ayat-ayat dibawah ini:
وهو الّذي جعلكم خـلا ئف الأرض ورفع بعضهم فوق بعض درجـات
Dan dialah yang menjadikanmu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat…(Q.S. al-An’am, 6:165).
هوالّذي جعلكم خـلائف الأرض فـمن كفر فعليه كفره
Dialah yang menjadiakanmu khalifah-khalifah di muka bumi. Barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. (Q.S. Fathir, 35:39)
واذكروا إذجعلكم خلفـاء من بـعد قوم نوح وزادكم في الخلق بسطة
Dan ingatlah kamu sekalian di waktu Allah menjadikanmu sebagai pengganti. Pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya Nuh, dan Yuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (dari pada kamu Nuh itu). (Q.S. ql-A’raf, 7:69).
            Ayat-ayat tersebut disamping menjelaskan kedudukan manusia di alam raya ini sebagai khalifah dalam arti yang luas juga memberi isyarat tentang perlunya sikap moral atau etik yang harus ditegakkan dalam melaksanakan fungsi kekhalifahannya itu. Quraish Shihab, misalnya mengatakan bhawa hubungan antar manusia dengan alam atau hubungan manusia dengan sesamanya, bukan merupakan hubungnan antara penakluk dan yang ditaklukkan, atau antara tuan dengan hamba, tetapi hubungan kebersamaan dala ketundukan kepada Allah swt. Karena kalaupun manusia mampu mengelola (menguasai), namun hal tersebut bukan akibat kekuatan yang dimilikinya, tetapi akibat Tuhan menundukkannya untuk manusia. Hal ini sejalan pula dengan apa yang dikemukakan Musa Asy’arie. Menurutnya bahwa tugas seorang khalifah, sebagai pengganti yang memegang kepemimpinan dan kekuasaan, pada dasarnya mengandung implikasi moral, karena kepemimpinan dan kekuasaan yang dimiliki seorang khalifah dapat disalahgunakan untuk mengejar kepentingan kepuasan hawa nafsunya, atau sebaliknya dapat dipakai untuk kepentingan menciptkan kesejahteraan hidup bersama. Oleh karena itu, kepemimpinan dan kekuasaan harus tetap diletakkan dalam keranngka eksitensi manusia yang bersifat sementara, sehingga dapat dihindari kecerendungan pemutlakan kepemimpinan atau kekuasaan, yang akibatnya dapat merusak tatanan dan harmoni kehidupan.
            Selaian itu kekuasaan selain khalifah pada dasarnya tidaklah bersifat mutlak, karena kekuasaannya dibatasi oleh pemberi mandat kekhalifahan, yaitu Tuhan. Dan sebagai pemegang mandate Tuhan, seorang khalifah tidak diperbolehkan melawan hukum-hukum yang diciptakan Tuhan.
            Selanjutnya terdapat pula persyaratan yang bersifat teknis dan keterampilan yang harus dimiliki oleh seseorang yang harus dimiliki oleh seseorang yang menjadi khalifah. Hal ini dapat dilihat dari isyarat yang terkandung dalam surat al-Baqarah ayat 30 dan 31. Pada ayat-ayat tersebut dijelaskan bahwa Nabi Adam setelah diangkat sebagai khalifah di  muka bumi kemudian ia diberikan pengajaran. Ini mengisyaratkan bahwa seorang khalifah perlu memiliki pengetahuan, keterampilan, mental dewasa, serta pedidikan pada umumnya. Kemampuan lebih yang dimiliki Nabi Adam yang digambarkan dengan dengan kemampuannya menerima pelajaran tenteng nama-nam benda dan mengemukakan nam-nama tersebut dihadapan malaikat, yang keseluruhannya ini dapat diartikan sebagai kemampuan yang bersifat konseptual,  justru menjadi salah satu modal yang melandasi kedudukan Nabi Adam as. memiliki kemampuan yang bersifat konseptual yang dihasilkan melalui pendidikan itulah yang menjadi kunci kesuksesannya sebagai khalifah. Ini artinya bahwa sebagai seorang khalifah perlu memiliki pendidikan yang cukup.
Kedudukan lainnya dari manusia di alam ini yang sering diangkat oleh para pakar adalah sebagai hamba yang harus beribadah kepada Allah. Hal ini biasanya didasarkan pada petunjuk ayat yang artinya: Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah (ibadah) kepada-ku. (Q.S. al-Dzariyat, 51:56). Pengertian ibadah dalam ayat ini menurut langgulung adalah merupakan pengembangan fitrah itu setinggi-tingginya, yang oleh aliran kemanusiaan disebut perwujudan diri (self actualization). Penjelasan ini sangat erat kaitannya dengan pelaksanaan fungsi kekhalifahan sebagaimana yang diuraikan diatas. Dengan ungkapan lain bahwa pelaksanaan ibadah itu pada hakikatnya adalah dalam rangka melaksanaan fungsi kekhalifahan sebagaimana yang telah disebutkan diatas.
            Sementara Musa Asy’ari mengatakan bahwa esensi ‘abd adalah ketatanan, ketundukan, dan kepatuhan yang semuanya itu hanya layak diberikan pada Tuhan. Ketundukan dan ketaatan pada kodrat alamiah yang senantiasa berlaku baginya. Ia terikat oleh hukum-hukum Tuhan yang menjadikan kodrat  pada setiap ciptaannya, manusia menjadi bagian dari ciptaan-nya, ia bergantung dengan sesamanya, hidup dan mati menjadi baginya yang pasti. Akan tetapi manusia tidak terikat sepenuhnya oleh hukum-hukum alamiah saja, karena sebagai makhluk yang dilebihkan dari pada ciptaan Tuhan lainnya, manusia diberikan kemampuan akalnya,sehingga mampu mengolah potensi alam menjadi sesuatu yang baru yang diperlukan bagi kehidupannya. Dalam perkembangannya, manusiapun terikat dengan hukum-hukum berfikir dalam upaya mengembangkan untuk menentukan piliha dan bebas untuk menggunakan akalnya, sedangkan ‘abd adalah seorang yang telah kehilangan wewenang untuk menentukan pilihan dan kehilangan kebebasan untuk berbuat. Esensi seorang khalifah adalah kebebasan dan kretifitas, sedangkan seorang ‘abd adalah ketaatan dan kepatuhan.
            Dengan demikian, kedudukan manusia di alam raya ini disamping sebagai khalifah yang memiliki kekuasaan untuk mengolah alam dengan menggunakan segenap daya dan potensi yang dimilikinya, juga sekaligus sebagai ‘abd, yaitu seluruh usaha dan aktifitasnya itu harus dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah. Dengan pandangan yang terpadu ini, maka sebagai seorang khalifah tidak akan berbuat sesuatu yang mencerminkan kemungkaran atau bertentangan dengan kehendak Tuhan. Untuk dapat melaksanakan fungsi kekhalifahan dan ibadah dengan baik ini manusia perlu diberikan pedidikan, pengajaran, pengalaman, keterampilan, teknologi, dan srana pendukung lainnya. Ini menunjukkan bahwa konsep kekhalifahan dan ibadah dalam al-Quran erat kaitannya dengan pendidikan. Manusia yang dapat melaksanakan fungsi-fungsi yang demikianlah yang diharapkan muncul dari kegiatan usaha pendidikan.





Bab III
Kesimpulan
            Uraian tentang kedudukan manusia di alam semesta dalam hubungannya dengan pendidikan islam, merupakan bagian yang amat penting, karena dengan uraian ini dapat diketahui dengan jelas tentang potensi yang dimiliki manusia serta peranan yang harus dilakukannnya dalam alam semesta. Uraian ini selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar bagi perumusan tujuan pendidikan. Selain itu, uraian ini  juga penting dilakukan karena manusia dalam kegiatan pendidikan merupakan sebjek dan objek yang terlibat didalamnya. Tanpa ada kejelasan konsep tentang manusia ini, maka akan sulit ditentukan arah yang dituju dalam pendidikan.
           
Daftar Pustaka :
Ø  Prof. Dr.H. Abuddin Nata, MA. Fisafat Pendidikan Islam, Gaya Media Pratama, cet.1,Agustus 2005, Jakarta.
Ø  Drs.H. A. Musthofa, Filsafat Islam,  Pustaka Setia, cet.2, Desember 2004, Bandung.




























[1] Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: PT. al-Ma’arif,1962, h. 45-46.
[2] Lihat Musa Asy’ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam al-Quran,Yogyakarta; Lembaga Studi pendidikan Islam, 1992,cet.1, h. 1-2; Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Jakarta:Tintamas, 1980, cet.3, h. 5-134, Louis O. Kattsoft, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Bayu Indra Grafika, 1989, cet. 4, h.51-55.
[3] Lihat L’Home et Iconnu (diterjemahkan dalam bahasa arab dengan judul al-Insan Dzalika al-Majhul, Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabiyyah, t.t). dia telah membahas secara luas tentaang substansi manusia dengan segala karakteristiknya serta kegagalan usaha-usaha yang telah dilakukan untuk mengenal manusia.
[4] Musa Asy’ari, Op. Cit., h.19
[5] Aisyah ‘Abd al-Rahman Bint asy-Syati, selanjutnya disebut asy-Syati. Al-Maqol fii al-Insan: Dirasah Quraniyyah, Mesir: Dar al-Ma’arif,1966, h.13-14
[6] Ibid.h.21dari buku “Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA.” Filsafat Pendidikan Islam. Gaya Media Utama. Cet. 1, Agustus 2005. Jakarta
[7][7] Muhammad Fuad al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li al-fadz al-Quran al-karim. Bairut: Dar al-Fikr, 1987. h. 93-94 dan 119-121.
[8] Untuk lebih jelasnya lihat uraian Hurun Nasution dalam Filsafat dan Mistifismedalam islam, Jakarta,: Bulan Bintang, 1978, cet ke-2, h. 26-47. Bandingkan dengan schumacher tentang empat pekerjaan dalam keluar dan kemelut, Jakarta LP3ES, 1981, cet. h. 76
[9] Quraish Syihab, Membumikan al-Quran, Bandung, Mizan, 1992, cet. 2, h. 156

Tidak ada komentar:

Posting Komentar